PluitArswendo Atmowiloto ; Budayawan |
KORAN JAKARTA, 02 Agustus 2014
Karena tak tahan direngek cucu, saya menyertai ke mal daerah Pluit, Jakarta Utara, hari libur kemarin ini. Tak berbeda dengan mal lain, dagangan yang disajikan, harga, juga kesulitan mencari tempat parkir, kalau tak ada pemandangan ke arah laut. Katanya mirip laut yang diuruk di Singapura. Suasana berbeda ini barang kali memang menjadi nilai jual dalam persaingan banyak mal baru. Daerah Muara Karang ini ternyata sudah tak terbayangkan dibandingkan 15 tahun. Sangat jauh berbeda, dilihat ketika saya mencari daerah kering ketika membuat sinetron Kenapa Harus Inul. Tapi yang membuat saya menulis ini bukan mal, bukan juga kenangan nostalgis. Melainkan ketika meliuk berputar saat pulang, mampir di Waduk Pluit. Kata waduk menggemakan makna yang sangat berharga. Pluit, konon dari kata fluitscip, kapal layar panjang berlunas ramping, bernama Het WhittePaert yang dimangkrakkan di danau itu zaman Belanda dulu. Danau itu sendiri semula berkedalaman 10 meter, dan dua tahun terakhir tinggal 2 meter saja. Pedangkalan terus-menerus, lahan yang tadinya 80 ha berkurang 20 ha, dengan segala masalah yang berat. Tanah yang dikuasai oleh yang tak berhak, pemindahan yang sensi dengan hak asasi manusia, ini dalam arti sebenarnya. Pergulatan antara hak dengan kewajiban. Antara danau yang harus menjadi penampung air, pastilah merepotkan, juga membahayakan karena banjir bisa menyambar pembangkit listrik tenaga uap. Apalagi di daerah tersebut perkembangannya begitu pesat dengan berbagai apartemen, hotel, mal, perumahan, jalan lebar yang terlihat dari pesawat terbang sebelum mendarat di bandara SoekarnoHatta. Konon upaya menyelamatkan dan memfungsikan waduk sudah dimulai sejak tahun 1960. Lalu timbul-tenggelam, diupayakan, dilupakan. Bolak-balik tak keruan juntrungannya. Baru di era Jokowi-Ahok waduk itu menemukan bentuknya. Bisa diperbandingkan tepat secara telak bagaimana sebelum dibangun dan kini setelah, sebagian, dibangun. Itu yang saya rasakan bahkan sebelum sore datang lebih utuh, karena baru kemudian pengunjung bertambah. Beberapa pengunjung berombongan, menikmati, berpotret, menghibur diri dengan menyewa sepeda atau becak mini atau menaikkan layang-layang, makan bersama, atau berparade dengan bintang peliharaan. Yang terpancar adalah kegembiraan. Yang saya rasakan adalah pohon-pohon sekitar itu akan tumbuh dan membuat teduh. Lebih dari semua itu, di sayup-sayup mata memandang sisa-sisa bangunan lama mungkin akan berubah. Juga bangunan rumah susun akan lebih terisi. Atau berbagai jenis harapan yang, duh, sungguh menjanjikan. Ini yang saya rasakan, justru setelah mengunjungi mal gede pinggir laut. Ada keberhasilan dalam zaman pembangunan ini. Dan pada Waduk Pluit, pengertian dan makna keberhasilan itu mendarat di bumi persoalan sebenarnya. Betapa indah, juga saktinya, jika Waduk Pluit menjadi simbol nyata pemahaman pemerintah dan masyarakatnya. Betapa luar biasa kalau masyarakat bisa disadarkan pentingnya sebuah waduk untuk sebuah kebersamaan. Betapa semua ini bisa berlangsung dalam suasana damai, meski di awalnya sempat panas. Karena kalau pendekatan Waduk Pluit menjadi role model, rasa-rasanya keberhasilan itu bukan hanya masalah fisik. Bukan sekadar bangunan di sana untuk mereka yang di sini. Melainkan, dan ini lebih menggembirakan, bahwa sebenarnya yang namanya masyarakat dan pemerintah itu bisa berdialog. Bisa merumuskan permasalahan dan mencari jalan keluar bersama. Waduk Pluit yang saya lihat sungguh menjanjikan kemungkinan dari dinamika yang selama kadang hanya diselesaikan dengan kekerasan. Dinamika yang ternyata bisa diwadahi dengan kesabaran, kesadaran, dan saling memercayai. Dan ketika tempat ini menjadi tempat wisata, yang dipamerkan, yang bisa dilihat, yang diabadikan dalam potret, bukan hanya sebuah tempat, melainkan juga ruang indah untuk didiami bersama, dirasakan keberadaannya. Waduk Pluit sungguh cantik dan inspiratif untuk semua waduk atau sungai atau rawa atau tanah tak bertuan menjadi ruang kebersamaan. ● |
Tidak ada komentar:
Posting Komentar