NIIS Indonesia dan Evolusi Teror Mondial

 On Kamis, 07 Agustus 2014  

NIIS Indonesia dan Evolusi Teror Mondial

Noor Huda Ismail  ;   Pendiri Yayasan Prasasti Perdamaian; Sedang Menyelesaikan PhD Politics and International  Relations di Monash University, Australia
                                                       KOMPAS, 07 Agustus 2014      

                                                                                                                                   

MUNCULNYA  fenomena ratusan orang Indonesia yang terlibat aktif dalam dinamika politik Islam dunia, seperti Islamic State of Iraq and Syria (ISIS)/Negara Islam di Irak dan Suriah (NIIS), yang 28 Juni 2014 lalu mendeklarasikan diri sebagai khilafah Islam, bukanlah peristiwa baru dan tak perlu disikapi dengan ketakutan berlebihan.

Sebagai bahan refleksi, buku terbitan 2007 karya Jason Burke, On the Road to Kandahar: Travels through Conflict in the Islamic World, dapat dijadikan rujukan. Berdasarkan wawancara langsung dengan para pelaku konflik di belahan dunia Islam, terutama di wilayah Pakistan, Afganistan, dan Irak, Jason menyimpulkan kuatnya dimensi konflik yang bersifat lokal, seperti pertarungan elite politik lokal, tetapi kemudian menjadi global karena adanya semangat ukhuwah Islamiyah atau persaudaraan Islam dalam dunia Islam.

Pertanyaan yang perlu dikaji lebih mendalam: apakah dukungan kepada NIIS ini karena sentimen ummah yang cenderung universal (Oliver Roy, 2004: Globalized Islam: The Search for a New Ummah) atau situasi domestik di Indonesia yang masih kondusif bagi berseminya paham radikal sebagai bentuk kegagalan negara dan masyarakat sipil memberikan wacana alternatif terhadap narasi kekerasan mereka? Atau faktor lokal dan internasional sama-sama dominan?

Dalam skala internasional, konflik Suriah yang awalnya bersifat lokal, yaitu demonstrasi untuk menjatuhkan pemerintah Bashar al-Assad, kemudian berevolusi menjadi konflik internasional, melibatkan ribuan kombatan dari puluhan negara, seperti Arab Saudi, Irak, Yaman, Chechnya, Turki, Amerika, Inggris, Perancis, Jerman, Swedia, Jepang, Malaysia, dan Indonesia.

Peristiwa ini menjadi semacam déjà vu peristiwa Juli 1979, di Kabul, ketika Presiden AS Jimmy Carter menggunakan CIA untuk melemahkan kekuatan Soviet dengan memobilisasi mujahidin dari seluruh dunia, termasuk tidak kurang 350 orang dari Indonesia, dan Osama bin Laden sendiri untuk menghancurkan komunis Rusia (John Cooley, 2002: Unholy Wars: Afghanistan, America and International Terrorism).

Senjata makan tuan

Dampak dari kebijakan Carter ini ternyata menjadi senjata makan tuan. Para singa yang dilatih itu telah melawan pawangnya sendiri, terbukti dengan adanya serangan pada WTC, 2001. Amerika kemudian membalas dengan menyerang Afganistan karena pemerintah Taliban waktu itu memberikan perlindungan kepada Osama bin Laden, pemimpin Al Qaeda, yang diduga berada di belakang peristiwa teror itu.

Di Indonesia, segelintir jaringan veteran perang Afganistan yang telah mendapatkan pelatihan dari CIA melalui Inter-Service Intelligence (ISI), lembaga telik sandi Pakistan, dan mengamini fatwa Osama tahun 1998. Mereka menyerang kepentingan Amerika di seluruh dunia dan membajak sebagian kecil anggota Jamaah Islamiyah (JI) untuk melakukan kampanye bom secara berkala, mulai dari bom Bali pertama pada 2002 hingga bom Marriott kedua pada 2009.

Meski diserang ”singa-singa” didikan mereka sendiri, AS kembali tak belajar dari kesalahan mereka. Negara ini menginvasi Irak pada 2003, kemudian menggulingkan pemerintah Saddam Hussein dan memenjarakan ribuan anggota pasukannya, termasuk anggota staf intelijen Saddam yang bermazhab Sunni, yaitu Abu Bakar al-Baghdadi yang hari ini menjadi khalifah NIIS. Ketika Al-Baghdadi dibebaskan dari penjara pada 2004, ia menyaksikan dunia yang berbeda: Amerika telah menguasai Irak, ia kehilangan pekerjaan sebagai tentara dan menerima kenyataan bahwa Nouri al-Maliki yang bermazhab Syiah jadi Perdana Menteri Irak dan tak mengakomodasi kepentingan kaum Sunni.

Dengan latar belakang inilah, tidak mengherankan apabila NIIS hari ini menjadi sebuah gerakan yang sangat anti Syiah. Tentara NIIS melakukan pembunuhan terhadap warga Syiah dengan hanya bertanya siapa nama mereka, di mana mereka tinggal, bagaimana mereka melaksanakan shalat, dan musik apa yang mereka dengarkan. Keempat pertanyaan itu cukup untuk mengidentifikasi seseorang itu bermazhab Syiah atau Sunni.

Sementara di Indonesia, salah satu faktor lokal yang menyebabkan orang tertarik bergabung dengan NIIS dan bahkan rela mati untuk pilihannya ini adalah lemahnya sistem penegakan hukum, terutama di penjara. Distribusi secara masif pesan NIIS yang berbahasa Arab yang diterjemahkan oleh Aman Abdurrahman, narapidana tindak pidana terorisme, justru dilakukan dari dalam penjara di Nusakambangan. Terjemahan ini kemudian disebarluaskan melalui internet oleh para pengunjungnya.

Rekam jejak Aman—dipenjara dua kali karena kasus bom Cimanggis 2004 dan pelatihan militer di Aceh 2010, menolak bekerja sama dengan pegawai penjara, serta konsisten dengan ideologi takfiri (mengafirkan orang di luar kelompoknya)—ternyata menjadi daya tarik tersendiri di kalangan aktivis Islam yang haus sosok pemimpin.

Meski tidak ada bukti bahwa ada perintah resmi dari Aman kepada anggotanya untuk pergi ke Suriah dan bergabung dengan NIIS, tetapi melalui terjemahan, tulisan, dan ceramah-ceramah Aman—yang kemudian didaur ulang oleh para pengikutnya dan juga media, lewat diskusi terbuka, pawai, demonstrasi, dan media sosial, seperti Facebook, Twitter, dan Youtube—memberikan imajinasi jihad yang melampaui konsep negara-bangsa bagi para pembacanya dan kemudian menggerakkan mereka untuk bertindak.

Yang menarik adalah mayoritas alumnus Afganistan di Indonesia ber-tawaquf (berdiam diri) atau sangat berhati-hati dalam memberikan dukungan secara terbuka kepada NIIS karena loyalitas mereka lebih kepada Al Qaeda yang hari ini dipimpin Ayman al-Zawahiri. Pada 2013, Al-Zawahiri mengeluarkan fatwa bahwa NIIS bukanlah bagian dari Al Qaeda karena NIIS telah bertindak sangat brutal sehingga merusak citra Al Qaeda di Suriah. Al Qaeda telah mempunyai pasukan sendiri, Jabhat al-Nusra, yang telah terlebih dahulu datang dan membantu rakyat Suriah.

Pecah kongsi antara NIIS dan Jabhat al-Nusra ini terbawa juga sampai ke Indonesia. Bahkan, di beberapa daerah, termasuk di dalam penjara yang menampung narapidana teroris, terjadi permusuhan sengit antara para pendukung NIIS dan Jabhat al-Nusra. Sangatlah tepat kesimpulan Jason Burke dalam bukunya itu bahwa ”gerakan yang menggunakan kekerasan ekstrem akan mengisolasikan diri mereka sendiri dengan masyarakat secara umum sehingga mereka pasti akan gagal”.
Indeks Prestasi
NIIS Indonesia dan Evolusi Teror Mondial 4.5 5 Arjuna Cellular Kamis, 07 Agustus 2014 NIIS Indonesia dan Evolusi Teror Mondial Noor Huda Ismail   ;     Pendiri Yayasan Prasasti Perdamaian; Sedang Menyelesaikan PhD Poli...


Tidak ada komentar:

Posting Komentar