Krisis dan Kebijakan Talangan

 On Selasa, 05 Agustus 2014  

                                 Krisis dan Kebijakan Talangan

Nugroho SBM  ;   Pengajar Fakultas Ekonomika dan Bisnis
Universitas Diponegoro, Semarang
KOMPAS, 05 Agustus 2014

                                                                                                                                   

TULISAN Denni P Purbasari, ”Krisis 2008: Fiksi Ilmiah atau Fakta” (Kompas, 24/7/2014), menarik untuk ditanggapi. Pertama, tulisan itu cenderung membela pelaku yang terseret dalam kasus pemberian dana talangan (bail out) kepada Bank Century yang mencapai Rp 6,7 triliun. Pelaku yang sudah divonis adalah Budi Mulya. Namun, Budi Mulya hampir pasti akan menyeret sejumlah nama seperti Miranda Goeltom, Siti Fadjrijah, Muliaman D Hadad, dan Boediono yang saat itu menjabat Gubernur BI. Menurut saya, putusan hakim terhadap Budi Mulya sudah tepat dan merupakan pintu masuk untuk mengungkap ”misteri” Bank Century.

Kedua, tulisan itu juga menganggap enteng para hakim yang memvonis Budi Mulya. Menurut saya, sebelum memutuskan, biasanya para hakim meminta pendapat dari para ahli sehingga keputusan yang dijatuhkan bukan keputusan yang sembarangan.

Bukan di krisis keuangannya
                                                 
Ketiga, ada kesan bahwa pemberian dana talangan kepada Bank Century sudah tepat karena pada 2008 memang terjadi krisis keuangan di Indonesia dan apabila tidak dilakukan kebijakan penalangan kepada Bank Century, krisis akan semakin parah.

Menurut saya, kesimpulan ini agak salah arah (misleading). Kebijakan pemberian talangan kepada Bank Century justru dipertanyakan bukan terkait dengan persoalan ada tidaknya krisis keuangan tahun 2008, melainkan alasan jika Bank Century tidak diselamatkan, maka akan punya dampak sistemik pada sistem keuangan Indonesia dan besarnya dana penyelamatan yang sampai Rp 6,7 triliun.

Sampai saat ini pun BI dan Komite Stabilitas Sistem Keuangan (KSSK) tak punya jawaban pasti dan kuantitatif tentang kriteria dampak sistemik Bank Century sehingga harus diberi talangan sebesar Rp 6,7 triliun.

Sebenarnya sudah ada beberapa definisi tentang dampak atau risiko sistemik ditutupnya suatu bank  sehingga BI dan KSSK dengan bantuan para akademisi bisa mengembangkan alat ukur secara kuantitatif tentang dampak sistemik suatu bank.

Pertama, Oliver de Brandt dan Philippe Heartman (2000) dalam kertas kerja yang diterbitkan oleh Bank Sentral Eropa (Working Paper Nomor 35/2000) menyebutkan dampak atau risiko penutupan suatu bank atau lembaga keuangan dikatakan sistemik jika berita buruk atau berita tentang penutupan tersebut menyeret bank atau lembaga keuangan lain ikut terpuruk.  Jadi, misalnya, ada sebuah bank ditutup, hal tersebut  memancing pemilik simpanan atau deposan menarik dananya sehingga bank-bank lain tersebut kesulitan likuiditas dan akhirnya ikut bangkrut.

Kedua, definisi dari Houben, Kakes, dan Schinasi (2004) dari IMF. Menurut mereka, risiko atau dampak sistemik berasal dari empat penyebab: bank itu sendiri, keterkaitan antarbank, perundang-undangan, dan kondisi ekonomi makro.

Risiko dari bank itu sendiri adalah jika bank tidak menjalankan prinsip kehati-hatian, baik dalam pengelolaan simpanan maupun penyaluran kredit, sehingga memancing ketidakpercayaan masyarakat pada perbankan. Adapun keterkaitan antarbank adalah jika bank yang ditutup mempunyai aset di bank lain atau asetnya berasal dari bank lain dalam jumlah besar, sehingga ketika bank tersebut ditutup, menyeret bank-bank lain dalam kesulitan.

Sementara dampak sistemik dari aspek hukum atau perundang-undangan dapat dibagi dua, yaitu yang disebut sebagai error omission dan error commission. Yang disebut pertama adalah kejahatan perbankan yang dilakukan dengan sengaja melanggar peraturan. Sementara yang disebut kedua adalah kejahatan perbankan karena belum ada peraturan atau UU yang mengaturnya.

Sumber terakhir adalah kondisi ekonomi yang memburuk. Karena kondisi ekonomi suatu negara memburuk, maka akan membuat berbagai kegiatan usaha, termasuk perbankan, juga akan memburuk.

Definisi ketiga datang dari kesepakatan para ahli keuangan di AS ketika menilai bangkrutnya perusahaan keuangan Goldman Sachs dan AIG. Risiko ditutupnya suatu bank atau lembaga keuangan lain, menurut mereka, adalah kalau suatu bank atau lembaga keuangan tersebut terlalu besar untuk gagal atau too big to fail (TBTF).

Maksudnya karena ukuran bank/lembaga keuangan itu terlalu besar (misalnya dalam ukuran aset dan omzet), maka apabila ditutup, dampaknya sangat besar bagi lembaga sejenis dan bagi perekonomian pada umumnya.

Menarik disimak pula nota kesepahaman (MOU) antara Bank Sentral Eropa, Badan Pengawas Keuangan, dan para menteri keuangan Eropa bernomor ECFIN/CEFCPE (2008) REP/53106 REV. Dalam nota kesepahaman itu ditekankan bahwa deposan harus siap kehilangan sebagian dari tabungan mereka. Artinya, penggunaan dana talangan dari dana milik masyarakat yang dibayarkan kepada pemerintah lewat pajak tidak boleh digunakan secara ceroboh untuk menolong bank atau lembaga keuangan lain yang tidak dikelola secara baik.

Dalam negeri

Definisi dari dalam negeri antara lain dikembangkan oleh Danareksa Research Institute (DRI) seperti ditulis oleh kepala ahli ekonominya, Purbaya Yudhi Sadewa, di Kompas (14/9/2009). Menurut DRI, dampak sistemik sektor perbankan dapat dilihat dari indikator banking pressure index (BPI) atau indeks tekanan perbankan.

Indeks ini disusun dari enam variabel, yaitu nilai tukar riil efektif, Indeks Harga Saham Gabungan (IHSG), angka pengganda uang, produk domestik bruto (PDB) riil, nilai ekspor, dan suku bunga jangka pendek. Angka indeksnya antara 0 dan 1. Batas kritis indeks adalah 0,5. Kalau indeks lebih besar dari 0,5, industri perbankan akan terkena risiko sistemik dan jika angkanya lebih kecil dari 0,5, industri perbankan dalam kondisi aman.

Sebenarnya dalam draf UU tentang Jaring Pengaman Sistem Keuangan (JPSK) Pasal 7 sudah dicantumkan lima aspek yang bisa digunakan untuk menilai apakah ditutupnya sebuah bank menimbulkan dampak sistemik atau tidak. Kelima aspek tersebut adalah institusi keuangan, pasar keuangan, sistem pembayaran, sektor riil, dan psikologi pasar.

Kelima aspek itu yang menurut situs resmi BI dipakai untuk memutuskan bahwa penutupan Bank Century berdampak sistemik. Sayangnya UU JPSK tersebut sampai saat ini belum disahkan justru karena pasal tentang risiko sistemik ini. Sayangnya pula penjelasan pasal tersebut belum disertai dengan ukuran-ukuran kuantitatif yang pasti. Dari penjelasan BI terungkap bahwa argumen Oliver de Brandt dan Philippe Heartman (2000)—yaitu bahwa apabila suatu bank ditutup, itu akan membuat semua nasabah menarik dananya dari bank—yang dipakai BI untuk menalangi Bank Century dengan menyatakan ada 23 bank umum dan BPR yang kondisinya sama akan mengalami kesulitan karena diperkirakan nasabah akan menarik dananya dari bank-bank tersebut.

Terhadap argumen ini dapat dipertanyakan, benarkah akan terjadi demikian? Para nasabah dengan pengalaman krisis ekonomi berkali-kali dan dengan adanya jaminan dari Lembaga Penjamin Simpanan (LPS) sudah lebih rasional sehingga sangat kecil kemungkinannya melakukan penarikan dana besar-besaran.

Lewat kriteria yang lain, yaitu too big to fail, bisa dinilai pula apakah Bank Century ukurannya cukup besar sehingga kalau ditutup akan berdampak besar dan sistemik. Jawabannya tidak karena proporsi dana pihak ketiga Bank Century terhadap total dana pihak ketiga di perbankan Indonesia hanya 0,08 persen, kreditnya hanya 0,72 persen dari total kredit, dan asetnya hanya 0,72 persen dari total aset perbankan Indonesia.

Jadi, saya justru mendukung dan membenarkan vonis hakim terhadap Budi Mulya dan berharap putusan tersebut merupakan pintu masuk untuk mengungkap ”misteri” Bank Century.
Indeks Prestasi
Krisis dan Kebijakan Talangan 4.5 5 Arjuna Cellular Selasa, 05 Agustus 2014                                  Krisis dan Kebijakan Talangan Nugroho SBM  ;    Pengajar Fakultas Ekonomika dan Bisnis Universita...


Tidak ada komentar:

Posting Komentar