Idul Fitri dan Pemimpin BaruSutrisno ; Mahasiswa Pascasarjana Universitas Muhammadiyah Surakarta |
KORAN JAKARTA, 29 Juli 2014
Secara harfiah, Idul Fitri berarti upaya kembali kepada sesuatu yang suci. Id berarti kembali dan fitri berarti kesucian. Kesucian di sini sering dimaknai sebagai jati diri manusia. Lebih spesifik lagi, manusia yang bertakwa. Sedangkan takwa ialah imtitsal awamirihi wa ijtinabi nawahihi (mentaati segala perintah Allah dan menjauhi larangan-Nya). Ungkapan ini sering dianalogkan dengan kesucian seorang bayi yang bersih dari dosa. Itulah sebabnya nabi mengatakan, “Barang siapa berpuasa dengan dasar iman dan penuh perhitungan akan diampuni dosa-dosanya.” Ini dosa-dosa individu kepada Allah. Ssedangkan, dosa terhadap sesama, pengampunannya harus melalui sesama pula di antaranya lewat halal bil halal. Begitulah ultimate goal seorang mukmin yang menyelesaikan puasa sebulan. Nilai ketakwaan inilah yang mau dicapai dengan berpuasa. Bahkan hampir seluruh ritual mahdah dalam Islam berorientasi untuk membentuk kualitas insan bertakwa. Hubungan vertikal dan horizontal inilah yang semestinya dipelihara sebagai bentuk keseimbangan sebagai konsekuensi makhluk spiritual dan sosial. Setiap ritual keagamaan sebagai proses rohani tidak untuk memenuhi kepentingan sendiri atau bahkan semata-mata sebagai “hadiah” untuk Tuhan, tapi diabdikan kepada kepentingan kemanusiaan secara luas. Jenis ibadah yang bersifat vertikal pada gilirannya harus ditransformasikan secara horizontal ke dalam gerak sosial. Tanpa disadari, dalam kehidupan keberagamaan sehari-hari, takbiran hanya dimaknai sebagai sebuah ritual menjelang dan dalam shalat. Padahal, takbir adalah pengakuan atas kebesaran Tuhan yang melampaui semua bentuk. Tanpa sadar, manusia sering merasa dan menganggap, banyak yang lebih penting dari Tuhan. Akhirnya, Tuhan hanya dihampiri dan tengok menjelang dan waktu shalat. Allah menciptakan manusia secara sempurna fisik, psikologis, dan spiritual. Manusia dilengkapi akal budi dan hati. Menurut Muhiuddin Hairi Shirazi (1997: 14) sebagaimana dikutip Abdul Mu’ti (2012), fitrah adalah sifat-sifat positif yang mendorong manusia berbuat kebajikan, sedangkan tabiat adalah sifat-sifat yang mendorong manusia berbuat jahat. Martabat manusia ditentukan kemampuannya dalam mempertahankan dan mengaktualkan sifat-sifat kemanusiaan yang mulia. ”Sungguh beruntung manusia yang membersihkan jiwanya. Sebaliknya, sungguh malang dia yang mengotori jiwanya” (Qs As- Syam: 9-10). Di dalam jiwa yang bersih terdapat pikiran dan hati jernih sebagai pangkal kemuliaan. Jiwa bersih akan mendorong kehidupan baik secara fisik, social, dan moral. Implementasi Maka, orang yang merayakan Idul Fitri seharusnya mampu mengimplementasikan nilai ketakwaan dalam kehidupan nyata agar tidak hanya beriman, tapi juga mengamalkannya. Dia akan menjauhkan diri dari tindakan-tindakan yang merugikan orang lain. Idul Fitri 1335 H dirayakan menjelang peringatan Hari Kemerdekaan Indonesia. Dalam perjalanan bangsa selama ini, moral individu tidak sejalan dengan etika kolektif. Banyak orang beragama berdusta karena gairah beribadah tak diikuti semangat berkorban. Tempat-tempat ibadah bertumbuh beriringan dengan arus masuk para aktivis keagamaan ke politik kepartaian dan kenegaraan, tapi kehidupan negara makin buruk. Korupsi dan penyelewengan jabatan merebak di mana-mana. Jalan terbaik kembali ke spirit asal (fitrah), dasar kehidupan bernegara yang memancarkan keimanan, ketulusan, dan kejuangan. Ini perlu dihidupkan ulang sebagai tenaga batin. Idul Fitri merupakan momen berefleksikan tentang pembawaan diri secara personal dan kebangsaan agar mampu menyelesaikan persoalan negara yang menggunung. Para pemimpin juga harus merenungkan tindakan yang telah dilakukan. Siapa pun mereka, apakah presiden, menteri, gubernur, wali kota, bupati, atau mereka yang berurusan dengan kepentingan public harus berubah menjadi lebih baik dalam melayani rakyat. Jangan malah memanfaatkan rakyat untuk kepentingan pribadi. Jika semua menjadikan Idul Fitri sebagai awal untuk lebih baik, dipastikan negeri ini dari tahun ke tahun akan makmur. Koruptor, penyuap, pejabat pembohong, pengumbar janji berkurang. Eksekutif, legislatif, dan yudikatif harus menjunjung tinggi moralitas. Mereka harus berani jujur pada profesi masing-masing. Mereka harus makin mengembangkan kesadaran kemajemukan. Ritus agama sesungguhnya bukanlah “pepesan kosong”, melainkan senantiasa menyimpan kekuatan mendidik dan melatih manusia. Bangsa yang tengah diterpa krisis multidimensi ini sudah saatnya melahirkan pribadi-pribadi bersih, jujur, peduli, antikekerasan, sadar multikultural, dan tolerans. Semua harus turut serta dalam pembangunan menuju kemakmuran dan keadilan bagi seluruh rakyat. Inilah sebenarnya pencerahan spiritual Idul Fitri sesungguhnya. Dalam konteks nasional, Idul Fitri 1435 H bisa dimaknai dengan kemenangan bangsa yang ditandai terpilihnya Jokowi-Jusuf Kalla sebagai pemimpin 2014-2019. Kehidupan rakyat yang lebih baik hanya mungkin diwujudkan bila ada perubahan fundamental pada sistem kepemimpinan politik. Dengan demikian pengelolaan kekuasaan negara dapat diselenggarakan dengan baik, terbuka, rasional, dan tidak korup. Presiden sudah berganti dari Soekarno, Soeharto, Habibie, Abdurrahman Wahid, Megawati, dan SBY, tetapi belum ada perubahan fundamental dalam sistem pengelolaan kekuasaan negara. Jokowi-JK menjadi harapan baru akan kelahiran kepemimpinan transformatif rakyat dan bangsa. Dengan fitrah kesucian, pemimpin baru harus meneguhkan tekad mewujudkan Indonesia yang mandiri dan berdaulat. Bangsa merindukan perubahan ke arah yang lebih baik. Maka, Jokowi-JK diharapkan membawa Indonesia ke arah perubahan yang lebih baik. Rakyat sangat berharap Jokowi-JK benar-benar mampu mengeluarkan bangsa keluar dari keterpurukan. Dengan demikian, akan terbangun peradaban baru yang dilandasi sifat-sifat keutamaan berintikan kemakmuran dan kesejahteraan. Dengan Idul Fitri dalam suasana kemenangan Jokowi-JK, semoga bangsa bisa kembali ke fitrah kesucian dan kebangsaan. ● |
Tidak ada komentar:
Posting Komentar