Agenda Kedaulatan Pangan Posman Sibuea ; Guru Besar Tetap di Jurusan Teknologi Hasil Pertanian Unika Santo Thomas, Sumatra Utara |
KORAN JAKARTA, 04 Agustus 2014
Komisi Pemilihan Umum telah menetapkan pasangan Jokowi-JK sebagai pemenang Pilpres 2014. Dalam perjalanan pemerintahan lima tahun ke depan, pasangan ini akan mengemban beragam agenda pembangunan, termasuk kedaulatan pangan. Terkait dengan penguatan kedaulatan pangan di masa datang, karut marut praktik pangan impor harus diurai secara baik sebab kebijakan beras impor telah memiskinkan petani lokal sebagai lokomotif kedaulatan pangan. Dalam visi-misinya tentang kedaulatan pangan, pasangan Jokowi-JK akan mengerem beras impor yang masih besar jumlahnya, sekitar 2,7 juta ton pada 2012. Beras impor selalu menuai pro dan kontra. Di satu sisi, impor dilakukan untuk memperkuat kemandirian pangan agar seluruh rakyat dapat mengakses beras. Namun, di sisi lain, Indonesia yang memiliki sawah seluas delapan juta hektare, impor beras menjadi kontraproduktif. Ini membuktikan lemahnya bangsa dalam soal kemandirian pangan. Masih tingginya kebergantungan bangsa pada impor salah satunya disebabkan kelambanan mempercepat diversifikasi konsumsi pangan berbasis sumber daya lokal di tengah masyarakat. Selain itu, Indonesia mengalami tekanan karena konsumsi domestik meningkat lantaran pertumbuhan kelas menengah dan kenaikan daya beli masyarakat. Sebab lain, tidak ada tambahan kapasitas produksi. Tekanan-tekanan itu mendorong impor pangan melambung dalam sepuluh tahun belakangan. Bahkan, kecenderungannya bakal kian meroket ketika Masyarakat Ekonomi ASEAN mulai berlaku 2015. Tanpa terobosan, bisa berarti pertumbuhan ekonomi gagal dimanfaatkan dan kultur pertanian bakal tergusur. Diklona Setiap tahun, pemerintah selalu mengimpor beras dalam jumlah besar. Untuk tahun ini, Bulog sudah diminta mendatangkan beras untuk mengamankan pasokan produk olahan padi ini di tengah ancaman El Nino. Alasan klasik serangan wereng, musim kemarau, dan banjir menjadi justifikasi impor. Seakan-akan hama wereng tidak bisa diatasi, banjir, dan kekeringan tak bisa ditangani. Masalah ini terus diklona yang menggambarkan seakan-akan tidak pernah ditemukan solusi. Pasar pangan di Indonesia kian dibanjiri pangan impor. Pemerintah nyaris tidak punya kekuatan untuk menghadapi. Indonesia menjadi negara yang membangun kemandirian pangan di atas fondasi lemah karena berbasis impor yang mudah runtuh. Negeri makmur namun tidak mampu memproduksi pangan untuk rakyat. Krisis pangan silih berganti mulai dari krisis beras, kedelai, daging sapi, gula, jagung, bawang putih, hingga bawang merah. Sebagai negara agraris yang memiliki kekayaan sumber daya pertanian dan pangan melimpah, Indonesia seharusnya bisa menjadi lumbung pangan dunia. Namun, ironisnya, pembangunan kedaulatan pangan sangat lamban. Berdasarkan data Badan Pusat Statistik (BPS), pertumbuhan sektor pertanian tanaman pangan pada kuartal I-2014 hanya 0,94 persen, padahal tahun lalu 2,18 persen. Implikasinya, impor pangan sulit dihindari. Ruang impor pangan akan semakin terbuka demi mengantisipasi dampak perubahan iklim dan penyusutan keluarga petani (BPS, 2013). Kenaikan harga bukan lagi hanya digerakkan mekanisme pasar, tetapi juga instabilitas politik di sejumlah negara penghasil beras. Menurut UU Nomor 18 Tahun 2012 tentang Pangan, komoditas ini harus tersedia setiap saat yang sesuai dengan potensi sumber daya lokal dan terjangkau rakyat. Sayang, pangan sering langka, otomatis harganya tidak terjangkau rakyat miskin. Harga pangan semakin mahal diduga karena kebergantungan kuat pada impor dan dikendalikan para pemain kartel oleh segelintir pemodal besar. Praktik kartel pangan dengan semakin mencengkeram perdangangan pangan dalam negeri. Temuan Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) saat membongkar kasus dugaan korupsi impor daging sapi dan ketidakefisienan penyaluran beras miskin membuktikan praktik mafia pangan sangat nyata. Suap dalam impor pangan sudah dirancang (corruption by designed). Praktik impor beras yang kini seakan-akan menjadi candu pemerintah akan merugikan petani lokal sebagai pukulan berat. Apalagi ketika didatangkan dengan bea masuk lebih kecil, membuat beras lokal tak dapat bersaing. Tragedi ini akan semakin memiskinkan para petani. Sektor pertanian bagi mereka semakin tidak menarik. Negara agraris dengan 8 juta hektare sawah masih harus mengimpor beras sungguh keterlaluan kerena hanya menghabiskan devisa. Padahal komoditas itu bisa diproduksi dalam jumlah cukup di dalam negeri. Secara tidak langsung, Indonesia menyubsidi petani Vietnam yang memproduksi beras kualitas medium. Pemerintah harus segera mengambil langkah solusi atas masalah impor beras yang kerap ilegal dan merugikan petani lokal. Sektor pertanian menyerap hampir 40 juta tenaga kerja. Jika satu pekerja menanggung kehidupan tiga anggota keluarga, jumlah yang menggantungkan hidup pada sektor tersebut sekitar 160 juta jiwa. Jumlah ini sekitar 64 persen dari total penduduk Indonesia yang sudah mendekati 250 juta jiwa. Jumlah petani sebegitu banyak seharusnya menjadi potensi besar untuk membangun persawahan berdaya saing tinggi sekaligus meningkatkan kesejahteraan. Kenyataannya, justru kebalikan. Sensus pertanian BPS tahun 2013 menunjukkan jumlah rumah tangga petani gurem susut 4,77 juta selama 10 tahun terakhir. Alih-alih akibat konsolidasi lahan yang mengandaikan terjadinya proses pembangunan inklusif, penyusutan tersebut ditengarai merupakan dampak kemunduran sektor pertanian. Petani gurem cenderung menjual lahan yang sempit. Mereka lalu pindah ke kota mencari pangan di sektor industri atau informal. Maka, langkah mendesak adalah penuntasan reformasi agraria untuk mendukung kedaulatan pangan. Ketimpangan penguasaan lahan diyakini sebagai akar pemiskinan petani dan krisis pangan. Reforma agraria sebagai kontrak politik Presiden SBY dalam kampanye tahun 2009 masih sebatas wacana, belum masuk program kerja, padahal rezim sudah memasuki “masa pensiun”. ● |
Tidak ada komentar:
Posting Komentar