LAPORAN DISKUSI
INDONESIA DALAM PERUBAHAN POLITIK DAN EKONOMI DI ASEAN
Peran Indonesia dalam ASEANTim Kompas |
KOMPAS, 15 April 2014
ASEAN sudah berdiri sejak 8 Agustus 1967 dan Indonesia salah satu pendirinya. Sebagai negara anggota yang paling besar secara ekonomi, populasi, dan luas geografisnya, muncul pertanyaan bagaimana peran Indonesia di ASEAN dan apa tujuan politik luar negeri Indonesia secara umum. Bagi masyarakat di luar ASEAN, boleh jadi perkumpulan 10 negara Asia Tenggara ini terlihat solid. Hal ini terlihat dari berbagai kesepakatan yang dibuat, antara lain pembukaan pasar barang, jasa, dan tenaga kerja di dalam ASEAN melalui kesepakatan Masyarakat Ekonomi ASEAN mulai akhir 2015. Namun, jika dilihat lebih dalam, akan segera terlihat negara-negara ASEAN memiliki perbedaan sangat besar. Perbedaan tersebut menyangkut tingkat ekonomi dihitung dari pendapatan per kapita, seperti antara Singapura dan Laos. Perbedaan juga menyangkut kondisi geografis yang memengaruhi politik dalam negeri dan kawasan. Perbedaan besar juga terlihat di dalam politik. Indonesia dianggap sebagai negara yang berhasil bertransformasi menjadi negara demokrasi meski masih dipertanyakan kualitasnya. Sementara itu, Myanmar masih dikuasai rezim militer yang otoriter dan pemerintahan yang sedikit banyak otoriter ada di Singapura dan Malaysia. Dengan segala kelebihannya, wajar jika Indonesia ingin mengambil peran sebagai pemimpin di ASEAN. Kepemimpinan di ASEAN semakin penting jika memang organisasi ini ingin dipertahankan dan memberikan manfaat lebih besar bagi masyarakat ASEAN dalam situasi yang sudah sangat berbeda dari saat berdiri. Kurang amunisi Pemerintahan Presiden Yudhoyono memperlihatkan keinginan memainkan peran lebih besar di ASEAN. Meski demikian, peran itu kurang diberi amunisi untuk membawa ASEAN menjadi kekuatan ekonomi dan politik yang sungguh kuat di luar sekadar tampilan gengsi masyarakat internasional. Hal tersebut tampak dalam penyelesaian konflik perbatasan antara Thailand dan Kamboja serta sengketa pulau-pulau di Laut Tiongkok Selatan (LTS) antara Tiongkok, Filipina, dan Vietnam. Juga dalam perjanjian ekonomi dan perdagangan, setiap anggota lebih banyak membuat perjanjian bilateral atau multilateral di luar ASEAN. Karena itu, Masyarakat Ekonomi ASEAN diragukan efektivitasnya dalam meningkatkan kapasitas ekonomi ASEAN seperti tujuan awal. Dalam sengketa perbatasan Thailand- Kamboja, Indonesia coba mengambil peran penyelesaian tidak dalam kerangka ASEAN, tetapi melalui dukungan Dewan Keamanan Perserikatan Bangsa-Bangsa. Sengketa akhirnya diselesaikan melalui Mahkamah Internasional. Hal ini memperlihatkan, Pemerintah Indonesia melakukan peran lebih terbatas dalam kerangka ASEAN, tetapi memiliki kebebasan lebih besar dengan memanfaatkan bantuan masyarakat internasional. Kurang perhatian Dalam penyelesaian sengketa pulau-pulau di LTS yang kaya sumber daya alam, kerangka ASEAN juga tidak dapat berbuat banyak. Persoalan lebih besar adalah peran Tiongkok dalam geopolitik ASEAN. Myanmar, Laos, dan Kamboja memiliki keterikatan ekonomi dan politik erat dengan Tiongkok. Bagi Indonesia, Tiongkok adalah salah satu negara utama dalam ekspor dan impor. Padahal, Indonesia sebenarnya memiliki peran besar meski sering dari belakang layar. Dalam proses Deklarasi Cebu pada 2005 tentang konvensi antiterorisme, secara resmi Filipina menjadi penggagas. Namun, sebenarnya Indonesia yang bekerja di belakang layar menyusun rancangan deklarasi. Juga dalam persiapan Myanmar sebagai ketua ASEAN pada 2015, Indonesia berperan besar dalam menyusun rancangan deklarasi untuk pertemuan tersebut. Indonesia dapat memainkan peran lebih besar secara lebih substansial jika memiliki rancangan besar tentang politik luar negeri dan tidak bersifat reaktif. Untuk itu diperlukan kepemimpinan kepala pemerintahan yang mampu mengorkestrasi birokrasi yang terfragmentasi dalam kepentingan masing-masing serta menyatukan energi semua pemangku kepentingan di dalam negeri. Dalam banyak hal, permasalahannya sering kali teknis daripada kurangnya keinginan bekerja lebih baik. Reformasi birokrasi pada 2003, misalnya, otoritas Kementerian Luar Negeri dibagi berbasis wilayah kerja, bukan lagi otoritas bidang politik dan ekonomi. Apabila Kemlu menandatangani perjanjian dalam kerangka kerja sama ekonomi ASEAN, otoritas pelaksananya kementerian teknis, bukan Kemlu. Hal seperti ini memerlukan kepemimpinan di atas tingkat kementerian. Hal lain, kurangnya perhatian partai politik yang setelah reformasi memegang kekuasaan melalui parlemen dan kepala pemerintahan yang diusung. Hampir tidak ada parpol menaruh perhatian kepada ASEAN. Pemerintah dan parpol lebih disibukkan urusan menjaga keseimbangan kekuasaan dalam menguasai sumber daya milik negara dan lembaga negara. Situasi di dalam negeri tersebut masih ditambah dengan ”pagar” yang dibangun ASEAN sendiri, yaitu tidak mencampuri urusan dalam negeri masing-masing. Indonesia dapat menjadi pemimpin di ASEAN dan mengambil manfaat dari organisasi regional ini untuk kemakmuran masyarakat ASEAN jika pemerintah dan parpol mau menyingkirkan kepentingan sempit sesaat. Pemilu Presiden Juli 2014 memberikan peluang tersebut. ● |
Tidak ada komentar:
Posting Komentar