LAPORAN DISKUSI
INDONESIA DALAM PERUBAHAN POLITIK DAN EKONOMI DI ASEAN
Ketimpangan dan Kelas MenengahTim Kompas |
KOMPAS, 15 April 2014
SINGAPURA, Malaysia, dan Thailand adalah anggota ASEAN yang bersama Brunei menempati posisi teratas negara dengan pendapatan per kapita tertinggi di Asia Tenggara. Bagi Singapura dan Malaysia, hal itu tak lepas dari keberhasilan mengembangkan model pemerintahan otoritarian untuk mencapai kemajuan ekonomi dan kesejahteraan penduduk. Adapun Thailand sejak akhir 1990-an dianggap sebagai yang terdepan di ASEAN dalam demokratisasi berbasis pemilu, badan pemantau pemilu independen, serta penegakan hukum dan hak asasi manusia di kawasan. Belakangan, kesuksesan resep pembangunan setiap negara mulai digugat. Di Singapura dan Malaysia hal itu tecermin dari merosotnya dukungan rakyat kepada partai atau koalisi yang berkuasa dalam dua pemilu terakhir. Terlihat pembangunan ekonomi menghasilkan ketimpangan dan perubahan sosial di masyarakat. Singapura Sistem meritokrasi yang diklaim menguntungkan semua orang yang diusung Partai Aksi Rakyat (PAP) di Singapura sejak tahun 1959, tak lagi diterima begitu saja oleh pemilih. Dari 75,3 persen suara pada pemilu 2001, dukungan bagi PAP merosot menjadi 66,6 persen (2006) dan 60,1 persen (2011). Kesenjangan pendapatan Singapura yang diukur dengan rasio gini mencapai 0,478 merupakan salah satu yang terbesar di negara berkembang. Hal ini, antara lain, karena ketergantungan Singapura terhadap tenaga kerja asing profesional dan pekerja tidak terampil. Pada tahun 2010 tenaga kerja asing mencapai sepertiga angkatan kerja yang melonjakkan populasi penduduk negeri itu hingga 32 persen dalam satu dekade. Tanpa batasan upah minimum, kelas pekerja Singapura kalah bersaing dari pekerja migran berupah murah. Warga kelas menengah juga terkena dampak melambungnya biaya perumahan, transportasi, dan layanan kesehatan karena penghasilan pekerja profesional dan eksekutif sangat tinggi. Saat pemerintah mengeluarkan Buku Putih Populasi yang menyebut jumlah warga asing akan mencapai 45 persen populasi penduduk pada 2030, sekitar 5.000 orang turun ke jalan menentang rencana itu dalam unjuk rasa yang sangat jarang terjadi. Malaysia Di Malaysia, sistem politik yang mendahulukan warga Melayu mulai dikritik seiring dengan meningkatnya jumlah warga perkotaan. Muncul desakan reformasi untuk memberantas korupsi, lemahnya penegakan hukum, dan penyalahgunaan kekuasaan. Dukungan pada koalisi Barisan Nasional (BN), yang berkuasa sejak Malaysia merdeka, anjlok menjadi hanya sedikit di atas 50 persen pada pemilu 2008 dan terus berkurang menjadi 47 persen (2013). Ketimpangan ekonomi dan sosial akibat diterapkannya liberalisasi ekonomi dan privatisasi pada pertengahan 1980-an turut mendorong berkembangnya perlawanan kelompok kelas menengah pada pemerintah. Salah satu yang menonjol adalah Gerakan Bersih yang sejak 2007 menentang larangan berdemonstrasi dengan turun ke jalan menuntut reformasi pemilu. Mereka berpendapat, perbaikan proses pemilu akan memperbesar peluang pergantian pemerintahan. Harga yang harus dibayar BN untuk tetap memerintah tidak murah. Pemerintah memberikan bantuan bagi rakyat miskin selama dua tahun menjelang pemilu 2013 senilai sekitar 2 miliar dollar AS. Di Singapura, PAP juga dipaksa mengubah kebijakan distribusi anggaran pemerintah pada sektor perumahan, layanan kesehatan, dan pendidikan agar lebih dapat dinikmati warga kelas menengah dan bawah. Ketidakpuasan rakyat terhadap pemerintah di kedua negara ini belum sampai membuat perubahan besar di pemerintahan. Namun, baik PAP maupun BN kini memasuki tahap baru untuk menyesuaikan sistem meritokrasi di Singapura dan politik etnis di Malaysia agar tetap memperoleh dukungan. Seberapa efektif penyesuaian yang dilakukan akan menguji klaim sistem pemerintahan otoritarian juga dapat mewujudkan masyarakat makmur sebagai alternatif sistem demokrasi Barat. Thailand Di Thailand, isu ketimpangan ekonomi selalu disebut sebagai salah satu penyebab unjuk rasa berkepanjangan selama sepuluh tahun terakhir. Meski demikian, ada sanggahan ketimpangan ekonomi justru dipolitisasi kelompok pendukung mantan Perdana Menteri Thaksin Shinawatra, tokoh kontroversial di balik kisruh politik Thailand. Thaksin dengan kebijakan populisnya memperoleh dukungan besar rakyat Thailand, terutama warga pedesaan di utara yang menjadi basis memenangi pemilu tahun 2001 dan 2005. Namun, kekuasaan Thaksin yang terlalu besar dan maraknya korupsi mendorong kelas menengah perkotaan bergabung dengan kelompok royalis dan militer menggulingkannya pada 2006. Sejak itu Thailand tak henti diguncang unjuk rasa, termasuk protes massa sejak akhir tahun lalu untuk menggulingkan pemerintahan Yingluck, adik Thaksin. Yang menarik, selain mengusung isu anti korupsi, gerakan kelas menengah ini justru menolak demokrasi berbasis pemilu dan menghalangi pemilu 2 Februari lalu. Mereka berdalih, pemilu tak akan berjalan jujur dan adil selama kubu Thaksin masih berkuasa. Krisis Thailand memberikan pelajaran bahwa kelas menengah tak selalu menjadi pilar demokrasi. Mereka bisa juga menjadi sekelompok demokrat yang tertarik pada sistem politik otoritarian. Sementara itu, ketimpangan ekonomi bisa menjadi pemicu ketidakpuasan atau dipolitisasi untuk mendapatkan keuntungan. Krisis politik berkepanjangan ini mengubur pencapaian Thailand sebagai yang terdepan di ASEAN dalam demokratisasi. ● |
Tidak ada komentar:
Posting Komentar