Pilpres : Mayoritarianisme Versus PersebaranHajriyanto Y Thohari ; Wakil Ketua MPR RI |
KORAN SINDO, 19 Juli 2014
Mahkamah Konstitusi (MK) sudah menerima uji materi atas Pasal 159 ayat (1) UU tentang Pemilihan Umum Presiden dan Wakil Presiden (Pilpres) melalui putusan MK Nomor 50/PUUXII/ 2004. Pilpres satu putaran sesuai dengan keputusan MK tersebut juga sudah dilaksanakan dengan lancar pada 9 Juli 2014 yang lalu. Dalam beberapa hari ini, kita bangsa Indonesia juga akan mengetahui ketetapan Komisi Pemilihan Umum (KPU) atas penghitungan suara pilpres satu putaran tersebut. Kini saatnya saya memberikan catatan terhadap MK sebagai bagian dari eksaminasi pribadi atas keputusan MK tersebut. Sangat meyakinkan pemilihan umum presiden dan wakil presiden (pilpres) berdasarkan UUD 1945 sengaja didesain untuk mengakomodasi dan menghormati fakta kemajemukan bangsa yang punya sesanti Bhinneka Tunggal Ika. Disebutkan di dalam UUD 1945 Pasal 6A ayat (3): ”Pasangan calon Presiden dan Wakil Presiden yang mendapatkan suara lebih dari lima puluh persen dari jumlah suara dalam pemilihan umum dengan sedikitnya dua puluh persen suara di setiap provinsi yang tersebar di lebih dari setengah jumlah provinsi di Indonesia, dilantik menjadi Presiden dan Wakil Presiden”. Dalam perspektif UUD 1945, persebaran suaralah yang menjadi substansi persoalan sekaligus inti kepeduliannya, bukan soal berapa putaran pilpres itu harus diselenggarakan. Terlepas apakah pasangan capres dan cawapres (yang diusulkan oleh partai politik atau gabungan partai politik peserta pemilihan umum) hanya terdiri atas dua pasangan atau lebih, faktor persebaran suara adalah yang pertama dan utama. Dalam perspektif UUD 1945, faktor persebaran suara yang diyakini lebih merefleksikan pluralisme bangsa diletakkan–dan berada jauh–di atas faktor numerikal berdasarkan suara terbanyak sebagaimana yang lazim dipraktikkan di negara-negara dengan paham mayoritarianisme. Pasalnya, juga bukan berpangkal pada persoalan jumlah pasangan capres dan cawapres dua pasangan atau lebih, melainkan menyangkut persoalan yang lebih fundamental: calon presiden dan wakil presiden dari sebuah negara yang bernama Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI) yang berdasarkan Pancasila dan Bhinneka Tunggal Ika dengan corak yang sangat khas dan unik. Pertama, NKRI adalah negara kepulauan (17.508 pulau) yang berciri Nusantara, dengan wilayah yang sangat luas (5.000 km x 2.000 km); kedua, jumlah penduduk yang sangat besar (247 juta, nomor empat di dunia) dan akan terus bertambah besar; dan ketiga, sangat majemuk secara etnis, suku, budaya, dan agama yang tersegmentasi dan terfragmentasi (segmented and fragmented pluralism) sedemikian rupa secara ekstrem. Last but not least, kebinekaan yang semacam itu diperburuk lagi dengan fakta ketimpangan demografi antara Jawa dan luar Jawa, di mana konsentrasi populasi negeri ini ada di Pulau Jawa. Inilah poinnya! Menangkap Spirit Konstitusi Memang ada Pasal 6A ayat (4) UUD 1945 yang berbunyi: ”Dalam hal tidak ada pasangan calon Presiden dan Wakil Presiden terpilih, dua pasangan calon yang memperoleh suara terbanyak pertama dan kedua dalam pemilihan umum dipilih oleh rakyat secara langsung dan pasangan yang memperoleh suara rakyat terbanyak dilantik sebagai Presiden dan Wakil Presiden”, tetapi ayat (4) ini harus dibaca sebagai sejajar (juxtaposition) dan tidak berada pada posisi dapat mengabaikan dengan begitu saja, apalagi menafikan, jiwa Pasal 6A ayat (3). Alhasil, posisi dan kedudukan Pasal 6A ayat (3) itu merupakan conditio sine qua non bagi lembaga kepresidenan dari sebuah negeri yang berdasarkan prinsip Bhinneka Tunggal Ika in optima forma. Dalam konteks dan perspektif ini, syarat ”mendapatkan suara lebih dari 50% dari jumlah suara dalam pemilihan umum dengan sedikitnya 20% suara di setiap provinsi yang tersebar di lebih dari setengah jumlah provinsi” sebagaimana yang secara eksplisit ditegaskan dalam UUD 1945 Pasal 6A ayat (3) dan dikutip lagi dalam UU No 42 Tahun 2008 Pasal 159 ayat (1) adalah syarat kemenangan yang tidak boleh diabaikan dengan begitu saja atas nama asas kepastian hukum, asas kemanfaatan bagi bangsa, dan apalagi asas penghematan keuangan negara. Perpaduan antara fakta ”suara terbanyak” dan prinsip ”persebaran suara” adalah integral dan tak terpisahkan satu sama lain. Mengapa perpaduan kedua aspek itu penting, karena sungguh tak terbayangkan jika sampai terjadi seorang capres dan cawapres hanya dipilih oleh warga negara Indonesia yang tinggal di Pulau Jawa plus satu dua pulau lainnya saja. Presiden dan wakil presiden NKRI tidak boleh hanya dipilih oleh warga negara Indonesia yang tinggal di Pulau Jawa saja meskipun jumlah perolehan suaranya dalam pilpres itu melebihi lima puluh persen suara. Alhasil, meskipun pasangan capres dan cawapres dalam pilpres sudah memperoleh suara lebih dari lima puluh persen suara, tetapi jumlah suara tersebut haruslah sedikitnya dua puluh persen suara di setiap provinsi yang tersebar di lebih dari setengah jumlah provinsi di Indonesia. Undang-Undang No 42 Tahun 2008 tentang Pemilihan Umum Presiden dan Wakil Presiden, sebenarnya telah berhasil menangkap spirit dan semangat konstitusi itu dengan baik sekali. Apabila kita simak secara saksama undang-undang ini, akan tampak dan terasa sekali bahwa persebaran suara menjadi kriterium penting kemenangan pasangan capres dan cawapres yang sangat penting. Sebagai contoh disebutkan di sana bahwa dalam hal perolehan suara terbanyak dengan jumlah yang sama diperoleh oleh tiga pasangan calon atau lebih, penentuan peringkat pertama dan kedua dilakukan berdasarkan persebaran wilayah perolehan suara yang lebih luas secara berjenjang. Demikian juga halnya jika perolehan suara terbanyak kedua dengan jumlah yang sama diperoleh oleh lebih dari satu pasangan calon, maka penentuannya dilakukan berdasarkan persebaran wilayah perolehan suara yang lebih luas secara berjenjang (Lihat Pasal 159 ayat (4), dan (5) UU No 42 Tahun 2008). Perpaduan atau Kombinasi Kriterium kemenangan dalam pilpres bukan semata-mata soal banyak-banyakan suara secara numerikal, yang itu berarti kita telah terjebak dalam paham mayoritarianisme (majoritarianism) yang liberalistis. Kita juga harus memperhatikan faktor persebaran pemilih sematamata karena fakta kemajemukan dan ketimpangan demografi warga yang bineka itu. Undang- Undang No 42 Tahun 2008 lebih peka terhadap fakta kemajemukan bangsa yang sangat tersegmentasi dan terfragmentasi secara suku, budaya, adat istiadat, dan agama yang saling berhimpitan dan tumpang tindih, serta timpang secara demografi itu, jika dibandingkan dengan Keputusan MK tentang uji materi atas Pasal 159 ayat (1) UU No 42 Tahun 2008 baru-baru ini. Sungguh tak terbayangkan lagi apa implikasi politik yang akan terjadi di masa depan manakala faktor dan dimensi persebaran suara itu diabaikan dalam penentuan pemenang dalam pemilihan umum untuk memilih presiden dan wakil presiden Republik Indonesia. Lebih tak terbayangkan lagi oleh karena bisa saja terjadi suatu kondisi, di mana capres dan cawapres hanya akan menyapa entitas pemilih di pulau-pulau tempat konsentrasi pemilih berada. Bahkan, implikasi tersebut sudah akan mulai tampak pada tahap penentuan bakal calon di dalam masing-masing partai politik atau gabungan partai politik! ● |
Tidak ada komentar:
Posting Komentar