Adu Kekuatan di Tanah Para NabiSmith Alhadar ; Penasihat pada The Indonesian Society for Middle East Studies |
KOMPAS, 21 Juli 2014
DI tengah ketegangan hubungan Israel-Palestina, terjadi insiden penculikan dan pembunuhan atas tiga remaja Yahudi di Hebron, ”Kota Para Nabi”, Tepi Barat, pada 12 Juni. Perdana Menteri Israel Benjamin Netanyahu menuduh pelakunya adalah Hamas atau Harakah al-Muqawwamah al-Islamiyah (Gerakan Perlawanan Islam). Dengan begitu, pemerintahan Netanyahu yang terbentuk dari partai garis keras Likud, yang didukung partai-partai agama dan ekstrem kanan, mendapat alasan menggempur Jalur Gaza. Tuduhan Netanyahu itu belum tentu benar. Sebab, pertama, Hamas membantahnya. Kendati terkenal militan dengan sering melakukan serangan bersenjata dan bom bunuh diri terhadap sasaran-sasaran Yahudi di Israel, Hamas tak pernah melakukan penculikan disertai pembunuhan terhadap warga sipil Yahudi, apalagi remaja. Kedua, penculikan yang disertai pembunuhan terhadap warga sipil Yahudi, apalagi tiga remaja yang tidak berdosa, akan merugikan perjuangan Hamas. Bukan hanya serangan balasan Israel yang pasti terjadi akan mendapat pembenaran, komunitas internasional juga akan mengecam Hamas. Ketiga, kemungkinan besar insiden itu dilakukan warga Palestina di Hebron. Sebagaimana diketahui, Hebron adalah titik api paling panas di tanah Palestina, setelah Yerusalem Timur (tempat Masjid Al Aqsa dan Dinding Ratapan Yahudi). Kota yang diklaim suci, baik bagi Muslim maupun Yahudi, ini harus diserahkan sepenuhnya kepada Palestina sesuai Kesepakatan Oslo II tahun 1995. Namun, Israel di bawah pemerintahan Netanyahu baru menyerahkannya pada 1996. Itu pun tidak seluruhnya, dengan alasan, di situ ada permukiman Yahudi yang harus dilindungi. Walaupun hanya ada puluhan keluarga Yahudi di Hebron, Israel membagi kota itu menjadi dua, sebagian untuk ratusan ribu warga Palestina dan sebagian lain untuk puluhan keluarga Yahudi. Permukiman Yahudi yang luas dan mewah dilindungi tentara Israel, sementara di seberang jalan hidup warga Palestina yang miskin dan terjajah. Hal ini menimbulkan kecemburuan sosial akut antara warga Paslestina dan permukiman liar Yahudi yang militan. Akses warga Muslim dan Yahudi ke makam para nabi pun diatur dan dijaga ketat oleh tentara Israel. Hal tersebut menimbulkan ketidakpuasan yang luas di antara warga Muslim Palestina ataupun pemukim Yahudi. Keempat, Tepi Barat, khususnya Hebron, bukan basis Hamas. Penghuni Palestina di kota itu adalah pendukung PLO. Lalu, mengapa Netanyahu menuduh pelaku penculikan dan pembunuhan adalah Hamas dan langsung menyerang Jalur Gaza? Politik pecah belah Penculikan dan pembunuhan terhadap Eyal Yifrach (19), Gilad Shaar (16), dan Naftali Frengkel (16) tentu menimbulkan kemarahan luar biasa masyarakat Israel dari semua lapisan masyarakat. PM Israel harus segera mencari jalan keluar untuk meredam kemarahan warganya demi mempertahankan kekuasaannya. Solusi hukum dengan menyelidiki siapa pelakunya, kemudian membawanya ke pengadilan, terlalu banyak memakan waktu dan tidak sepadan dengan kemarahan warga Israel. Maka, jalan politik merupakan jalan paling realistis untuk dua keuntungan sekaligus. Pertama, menyerang Hamas yang sangat dibenci masyarakat Yahudi karena teror yang dilakukannya selama ini untuk memperjuangkan berdirinya negara Islam di seluruh tanah Palestina, termasuk tanah yang dihuni warga Israel sekarang ini. Maka, menghukum warga Palestina di Jalur Gaza merupakan jalan untuk memuaskan nafsu balas dendam warga Israel. Kedua, memecah belah rakyat Palestina lagi. Rekonsiliasi antara pendukung Fatah pimpinan Mahmud Abbas di Tepi Barat dan Hamas pimpinan Ismail Haniya di Jalur Gaza pada April, yang kemudian diikuti pembentukan pemerintahan bersatu Palestina pada awal Juni, sangat mengecewakan Israel. Netanyahu berharap, dengan menuduh Hamas sebagai pelakunya akan memojokkan Abbas, yang pada gilirannya mengecam Hamas sehingga terjadi perpecahan Palestina. Namun, manuver Netanyahu ini terlalu sederhana sehingga mudah dibaca arahnya. Karena itu, tidak ada reaksi tekanan AS ataupun PBB atas Abbas yang sangat diharapkan Netanyahu. Sebaliknya, dengan menuduh Israel melakukan genosida terhadap warga Palestina, justru Abbas—pemimpin Palestina yang terpelajar, moderat, dan dipercaya warga Palestina, AS, Dunia Arab, serta komunitas internasional—membuat kian solidnya hubungan Fatah-Hamas. Serangan balik Hamas dan faksi-faksi militan Palestina lain merupakan upaya mendapatkan legitimasi politik. Roket-roket rakitan Palestina sama sekali tidak berdampak apa-apa pada Israel, malah hanya memberi pembenaran lebih lanjut pada Israel untuk melancarkan serangan masif yang juga tidak akan memberi apa-apa pada Israel, kecuali memuaskan emosi kemarahan warganya. Pembunuhan dengan membakar remaja Palestina, Muhammad Abu Khudair (16), oleh warga Yahudi di Yerusalem, memukul balik Israel dan makin menyemangati Hamas. Permintaan maaf Netanyahu kepada ayah Khudair melalui telepon langsung tidak membantu keadaan. Permainan kekuatan Bagaimanapun, power game —permainan kekuatan—ini sebentar lagi akan berakhir setelah keduanya, Israel dan Hamas, memuaskan nafsu perangnya untuk mendapatkan legitimasi. Bukankah keduanya berpegang pada doktrin ”I fight therefor I’am” seperti yang dulu didengungkan PM Israel Menachem Begin, yang akhirnya membuat perdamaian dengan Presiden Mesir Anwar Sadat, yang dikenal sebagai Perjanian Camp David 1978, setelah keduanya terlibat perang pada 1967 dan 1973? Hanya saja, disayangkan bahwa permainan kekuatan ini harus mengorbankan rakyat sipil yang tidak berdosa. Masalah penculikan dan pembunuhan tiga remaja Yahudi oleh warga Palestina dan seorang remaja Palestina oleh warga Yahudi sesungguhnya masalah krimimal biasa oleh warga Israel dan Palestina, yang kemudian dipolitisasi Netanyahu dan disambut oleh Hamas. Tidak usah berharap apa-apa dari isu ini. Sebentar lagi konflik akan reda. Perdamaian hakiki hanya mungkin terjadi apabila ada perubahan mendasar pandangan Israel dan Hamas terhadap perdamaian dan kemauan besar disertai penggunaan sumber politik yang maksimal oleh Presiden AS Barack Obama yang dapat memaksa Israel membuat konsesi signifikan terhadap Palestina. Mungkinkah? ● |
Tidak ada komentar:
Posting Komentar