Impunitas Israel

 On Kamis, 24 Juli 2014  

                                                       Impunitas Israel

Ivan Hadar  ;   Direktur Eksekutif Institute for Democracy Education (IDe)
KORAN SINDO, 23 Juli 2014
                                                


Agresi Israel di Jalur Gaza, selain menimbulkan kerusakan material dan infrastruktur yang parah, juga telah membunuh dan mencederai sangat banyak korban tak berdosa.

Pemblokadean Gaza sepuluh tahun terakhir ditaksir sekitar 1.600 warga Palestina, sebagian besar warga sipil, tewas. Sedangkan korban luka mencapai 10.000 orang lebih. Sementara 100.000 penduduk Gaza tak berumah dan 600.000 lain hidup tanpa air bersih. Terakhir, empat anak yang sedang bermain di tepi pantai menjadi korban bom yang seringkali meledak serampangan. Tak heran banyak yang menganggap Israel telah melakukan kejahatan perang dan patut diseret ke mahkamah internasional.

Beberapa sumber misalnya menyebut tentara Israel membuldoser rumah, sementara di dalam rumah masih berpenghuni. Mereka juga membunuh warga sipil yang berusaha menyelamatkan diri dengan bendera putih. Dan, yang tak kalah kejamnya, ketika tentara Israel menggunakan kekuatan militer canggih untuk menyerang tanpa pilih bulu di kawasan penduduk sipil dan menembakkan fosfor putih yang dilarang hukum internasional. Navi Pillay, salah satu komisioner Dewan HAM PBB, meminta segera dibentuk tim penyelidik independen terhadap Israel.

Secara khusus Pillay menyebutkan kasus pembantaian yang dilakukan pasukan Israel, melihat banyaknya korban di kalangan sipil terutama anak-anak, serangan Israel ke Jalur Gaza sama sekali tidak bisa diterima. Dalam beberapa kali agresi Israel, Dewan HAM PBB biasanya mengadopsi resolusi yang mengutuk serangan Israel di Jalur Gaza dan menyebutnya sebagai pelanggaran HAM berat terhadap warga Palestina. Namun, biasanya meski disetujui oleh 33 negara Afrika, Asia, Arab, dan Amerika Latin, 13 negara Eropa hanya bersikap abstain terhadap resolusi tersebut.

Kanada bahkan menolaknya. Sejumlah negara Barat menilai resolusi yang diajukan itu terlalu memihak dan gagal menjelaskan peran roket-roket yang diluncurkan oleh milisi Hamas yang dianggap telah menjadi pemicu terjadi serangan Israel. Sejauh ini belum ada keputusan apakah Dewan HAM PBB akan melakukan penyelidikan terhadap agresi Israel dan menyeretnya ke pengadilan HAM internasional. Karena itu, banyak yang percaya bahwa impunitas dalam agresi kali ini pun masih akan berlaku bagi Israel.

Impunitas terjadi ketika tidak ada pengadilan bagi pelanggar HAM, termasuk kejahatan perang oleh negara. Kalaupun ada pengadilan, hukuman kepada para pelaku pelanggaran HAM paling banter hanya menjangkau pelaku lapangan. Bukan mereka yang memberi perintah atau pengambil keputusan. Impunitas juga bisa berarti pelanggaran HAM dan kejahatan atas kemanusiaan bersembunyi di balik dalih “demi keamanan dan ketahanan nasional”. Pada 1992 di Universitas La Cantuta, Peru, Lima, puluhan tentara menyerbu kampus dan menculik 12 mahasiswa.

Sebuah penelitian yang digelar anggota partai oposisi di parlemen sejak awal dihalang-halangi dan diteror dengan menyebut mereka sekutu teroris yang bekerja dengan tujuan “menghujat militer dan menghina para perwiranya”. Juli 1993 ditemukan kuburan massal para mahasiswa yang diculik tadi. Para perwira penculik ditahan dan pengadilan militer digelar. Beberapa bulan setelah dijatuhi hukuman, pemerintah memberikan amnesti umum. Sementara beberapa perwira tinggi yang diduga dalang penculikan, tak pernah menjalani proses hukum. Di Indonesia kita pun masih menunggu tindak lanjut atas rekomendasi Tim Pencari Fakta atas kerusuhan Mei 1997 yang mencatat perkosaan massal atas 168 perempuan etnis Tionghoa.

Begitu pula dengan peristiwa Semanggi, penyerbuan kantor PDI, penghilangan aktivis prodemokrasi, kasus Munir, dan banyak lainnya. Berbagai contoh di atas menjelaskan bahwa penyebab impunitas, selain faktual juga bersifat normatif. Kejahatan HAM tidak diusut karena kurangnya keseriusan dan keinginan untuk mengusut oleh elite pemerintahan yang tak jarang justru terlibat dalam kasus-kasus tersebut.

Ada pula pemberlakuan amnesti umum atau dengan mengajukan pelakunya ke peradilan militer dengan vonis hukuman ringan karena kesalahan prosedur atau bahkan vonis bebas karena telah melakukan tugas sesuai perintah. Sebenarnya pelaku pelanggaran berat HAM, terutama penyiksaan tahanan, hukuman mati yang sewenang-wenang terhadap tahanan politik, penculikan lawan politik, pembunuhan dengan sengaja warga sipil dalam sebuah perang, diancam diajukan ke pengadilan internasional.

Sejarah mencatat, proses Nuernberg yang mengadili kejahatan perang oleh (pemerintahan) Nazi-Hitler berdasarkan Perjanjian London, 8 Agustus 1945, merupakan salah satu pengadilan internasional yang spektakuler. Dalam proses Nuernberg, yang juga disebut Pengadilan Militer Internasional, ada pernyataan yang di kemudian hari menjadi terkenal: “Kejahatan terhadap hak-hak bangsa (lain)... sebenarnya dilakukan oleh manusia, bukan oleh makhluk atau kekuatan abstrak sehingga hanya dengan hukuman terhadap pelaku-pelakunya, hak bangsa-bangsa bisa ditegakkan”. Atas dasar ini, penggerak mesin pembunuh Hitler-Nazi dikenakan hukuman.

Dengan dasar inilah, teror oleh negara kemudian bisa dikonkretkan dan tidak menjadi kejahatan anonim. Kini pernyataan tersebut menjadi landasan hukum internasional untuk menjaring dan mengadili pelaku kejahatan internasional semisal genosida, kejahatan atas kemanusiaan, kejahatan perang, dan kejahatan atas utusan PBB. Namun, banyak yang meragukan efektivitas PBB untuk menggiring dan, bila perlu, “memaksa” anggotanya agar memprioritaskan penguatan HAM dan pengamanan perdamaian.

Agar bisa memaksa, peran Dewan Keamanan PBB sebenarnya cukup besar. Sayangnya, terkait kasus Israel, AS yang memiliki hak veto selama ini selalu menggagalkan resolusi yang merugikan Israel. Bagi penulis, anti-Yahudi atau anti-Semitistis adalah sebuah kejahatan kemanusiaan. Namun, ironisnya, Israel yang menjadi negaranya bangsa Yahudi yang dulu banyak dibunuh Nazi-Hitler kini berbalik menjadi agresor. ●
Indeks Prestasi
Impunitas Israel 4.5 5 Arjuna Cellular Kamis, 24 Juli 2014                                                        Impunitas Israel Ivan Hadar  ;    Direktur Eksekutif Institute for Democr...


Tidak ada komentar:

Posting Komentar