Tiga Kali IstanbulToeti Heraty N Roosseno ; Guru Besar Filsafat FIB UI |
KOMPAS, 20 Juli 2014
DATANG berkunjung ke Istanbul lagi, ini kali berbeda. Pertama kali dalam rangka pendekatan antara dunia Islam dan Barat, prakarsa Yayasan Rockefeller dan Aga Khan Trust for Culture. Setelah bertemu rapat di hotel-hotel mewah di Geneve, Casablanca, Paris (yang gagal diatur oleh Uni Arab) Istanbul, Jakarta, New York, Venetia, beruntun tujuh kali diskusi persiapan terlaksana untuk mencapai penyelesaian masalah. Tentu tidak lewat politik, pula tidak lewat dialog lintas agama, tetapi penyelesaian budaya. Akhirnya suatu pameran Artwork from Moslem Countries akan diselenggarakan sebagai suatu bagian dari Venice Biennale tahun 1996. Kunjungan kedua kali adalah suatu kunjungan pada Konferensi Internasional Filsafat tahun 2003 bertema ”The Dialoque of Cultural Tradition” dengan beberapa staf Departemen Filsafat Universitas Indonesia. Yang kuingat bahwa waktu naik speedboat di Selat Bosphorus selendangku terjatuh dalam laut antara dua benua. Seperti melempar mata uang di fontana di Trevdi Roma, kuanggap berarti harus kembali, bukan ke Roma, melainkan kembali ke Istanbul. Kunjungan ketiga mewakili komisi kebudayaan AIPI maksudnya mengunjungi Turki sebagai semacam studi banding ke negara Muslim sekuler, serta ingin meninjau pula hak-hak perempuan di negara yang penduduknya 98 persen Muslim, tetapi sejak 1923 menjadi republik. Kesultanan Ottoman yang jaya berusia 6 abad dihapus menjadi Republik Turki yang oleh Kemal Attaturk dinyatakan sekuler, dan kini telah bertahan sembilan dekade dengan mantap. Tetapi, kecenderungan agama menjadi kekuasaan politik pada akhir rezim kesultanan Ottoman akhirnya berekses korupsi dan dekadensi kalangan elite. Sesuai apa yang kudengar pada kuliah pagi Quraish Shihab, Senin, 7 Juli pagi, kekuasaan yang berfoya-foya akan membawa kehancuran negara. Radikalisme revolusioner seorang Mustafa Kemal Attaturk melengserkan rezim Sultan Mehmet VI tersebut dan peninggalannya hingga kini telah membuka pintu untuk modernitas Barat dengan ilmu pengetahuan dan demokrasi, dan pengawasan ketat pada pengaruh agama pada negara. Sebutan sekuler dapat dijelaskan menurut tiga ragam sesuai Martin von Bruynessen. 1) Pemisahan negara dan religi untuk melindungi agama dari politik dan menjamin kebebasan beragama. 2) Pemisahan negara dan religi untuk melindungi negara dan proses politik dari campur tangan agama. 3) Netralitas negara terhadap religi dalam arti mengambil jarak sama dekat dan jauh dari semua agama. Sesuai keragaman ini, posisi Turki maupun Indonesia tentu berbeda kedudukannya. Meskipun demikian, oleh cendekiawan Muslim Fazlur Rahman Malik (1919-1988) disampaikan pendapat bahwa baginya Indonesia dan Turki yang memberi harapan akan percaturan intelektual Islam lebih berkembang dan bahwa demokrasi dan komitmen Muslim bukan hal yang bertentangan. Kami mengunjungi empat lembaga pemerintah. Di Istanbul kami berkunjung ke Universitas Marmara, khususnya Fakultas Ilahiyat. Kami diterima oleh dekan dan dosen senior yang menjelaskan bahwa di Fakultas Ilahiyat sangat mementingkan agar mahasiswa mengerti agama Islam secara komprehensif dan menunjukkan bahwa Islam adalah agama yang mengapresiasi nilai-nilai humanis dan kompatibel dengan prinsip-prinsip ilmu pengetahuan dan teknologi modern. Kemudian, di Ankara kami berkunjung ke Departemen Agama Turki (Presidency of Religious Affairs). Di sana kami mengunjungi dua direktorat, yaitu Direktorat Bidang Hubungan Luar Negeri (Directorate of Foreign Relations) dan Direktorat Bidang Penyelenggaraan Pendidikan (Directorate of Educational Services) dan Turkiye Diyanet Vafki (Turki Religious Foundation), mendengarkan pula dedikasi upaya pendidikan dan pelayanan agama, sampai ke materi dakwah pun menjadi perhatian pemerintah. Pemerintah Turki menata dan mengawasi benar kiprah agama. Terakhir kami berkunjung ke Universitas Ankara, khususnya Fakultas Ilahiyat atau teologi dan mendengar penjelasan rinci perihal pendidikan agama S-1, S-2, dan S-3. Alumni terjamin menjadi pegawai negeri sipil dan menjadi imam dan khatib di masjid-masjid seantero Turki. Maka itu menarik untuk memperhatikan kemiripan orientasi Turki dan Indonesia sebagai negara penduduk Muslim mayoritas berdemokrasi dan berorientasi pluralis, berbeda dengan negara Islam Timur Tengah. Turki dengan orientasi modernis berlatar belakang kebanggaan pada jati diri peradaban Ottoman yang jaya dan dengan mayoritas Muslim terhindar dari budaya Arabisasi. Dalam hal itu Indonesia tampak lebih mudah menanggalkan jati diri dan latar belakang sejarah negara-negara Mataram dan Sriwijaya di Nusantara, yang lekang oleh kolonisasi Belanda dan rentan akrab dengan budaya Arab yang cenderung diidentifikasikan dengan budaya Muslim. Bahkan, penggunaan hijab pada perempuan dikembangkan dalam dunia fashion. Tapi, ternyata kreativitas lokal tak teringkari memberi wajah berbeda pada komponen budaya Arab menjadi pengejawantahan unik, kontemporer, dan trendy. Mengenai hal-hal perempuan, konstitusi Turki menekankan kesetaraan, sambil menyebutkan ”diskriminasi positif”, yang diberlakukan, maksudnya kesetaraan tetapi dengan perhatian khusus untuk usia lanjut, yatim piatu, janda, pokoknya perempuan. Di pihak lain, sesuai dengan di negeri kita, dengan Muhammadiyah dan Nahdlatul Ulama, di Turki bergerak pesat dan luas gerakan NGO diprakarsai oleh Fethullah Gülen, yang berorientasi pada pendidikan sains, humaniora, dan etik dengan empati sosial yang mendalam didukung filantropi para pengusaha yang berhasil dan berdedikasi. Gerakan ini semakin gencar sejak 2005 dan berorientasi internasional ke 140 negara. Di Asia disebut dengan nama PASIAD (the Society for Social and Economic Solidarity with Pacific Countries). Di Indonesia pun telah diprakarsai beberapa pusat pendidikan. Kami bertemu empat orang Turki yang mengabdikan diri pada upaya edukasi ini yang fasih berbahasa Indonesia, dan juga berkiprah di beberapa tempat di Bogor, Depok, Yogya, dan Semarang. Yang sangat mengesankan adalah ajakan mereka untuk berkunjung pada Fatih Koleji, sebagai prakarsa madani, sekolah berasrama dari SD sampai SMA. Para siswa unggul dipersiapkan untuk kompetisi Olimpiade. Demikian pula universitas mereka dirikan di Ankara dan Istanbul, dan kegiatan mereka berpencar ke 140 negara, termasuk Indonesia. Tetapi, pihak lembaga pemerintah tidak menyebutkan mereka, dan edukasi agama tetap menjadi monopoli lembaga resmi pemerintah. Akhirnya dengan menikmati keramahan Ibu Dubes di Turki, Ibu Nahari Agustini, yang hangat menerima rombongan AIPI di Wisma Indonesia, kita meninggalkan Turki. Sementara bagi saya, kunjungan ke Istanbul yang ketiga ini membuka perspektif edukasi pluralis dan pengembangan intelektual Islam yang inspiratif, yang nyaman dan sejuk, jauh dari hiruk-pikuk politisasi di negara yang disebut sekuler ini. ● |
Tidak ada komentar:
Posting Komentar