UN dan Kepercayaan SekolahSiti Muyassarotul Hafidzoh ; Peneliti di Program Pascasarjana Universitas Negeri Yogyakarta |
SINAR HARAPAN, 14 April 2014
Tanggal 14-16 April 2014, ujian nasional (UN) berlangsung untuk jenjang SMA, SMK, MA, dan SMALB.UN merupakan momentum yang sangat strategi bagi sekolah dalam mengembalikan kepercayaan diri. Mengapa? Dengan UN, sekolah sedang “mempertaruhkan” guna menciptakan generasi masa depan yang berkualitas bagi Indonesia. Pertaruhan yang dimaksud di sini bukanlah melakukan uji coba (try and error), melainkan sebuah usaha serius lembaga pendidikan dalam merancang strategi dan konsep pendidikan yang terbaik bagi semua. UN bukan menjadikan peserta didik menjadi pecundang, melainkan menjadi seorang “petarung” yang siap menghadapi beragam tantangan dalam menjawab problem kebangsaan pada masa depan. Sebagai sebuah ikhtiar untuk masa depan, UN sangat penting. Tetapi, praktik kotor dan busuk di sekitar UN jelas bukan sesuatu yang mendidik, melainkan perkara destruktif yang harus diakhiri. UN bukanlah terikat “lulus” dan “tidak lulus”, melainkan terkait prestasi dan kualitas pendidikan Indonesia. Jebakan retorika “lulus” dan “tidak lulus” hanya menjadikan riuh pendidikan yang tak berguna. Namun kalau menjadi momentum penuh spirit dan strategi, UN menjadi jembatan emas lembaga pendidikan untuk meningkatkan kepercayaan diri dalam membangun dan meningkatkan kualitas peserta didik pada masa depan. Evaluasi menyeluruh menjadi sangat krusial untuk menata arah masa depan, serta menambal lubang kenistaan yang mengakibatkan banyak siswa masuk lubang kegagalan. Semua itu dilakukan sebagai wujud mengembalikan citra sekolah agar publik tidak lagi memandang sebelah mata. Terlebih, sekolah yang siswanya banyak gagal UN. Sudah pasti, evaluasi kelembagaan sangat penting untuk mengembalikan citra dan kepercayaan publik terhadap sekolah. Jangan sampai publik kecewa dan tidak percaya atas lembaga pendidikan bernama sekolah. Walaupun masih terjadi plus-minus selama ini, sekolah masih disepakati sebagai lembaga pendidikan yang sangat strategis guna menciptakan generasi masa depan. Ketika kegagalan UN menjadi momok kengerian siswa, banyaklah orang tua yang sudah tidak percaya dengan lembaga pendidikan formal. Mereka menganggap sekolah memberikan biaya pendidikan yang menjamur, serta meragukan kualitas pendidikan yang diberikan lembaga tersebut. Orang tua yang terdidik dan relatif mampu membiayai sekolah anaknya pun semakin khawatir terhadap mutu pendidikan dalam sistem persekolahan. Alternatif yang mereka pakai bisa jadi mendidik anak dengan sekolah tunggal sehingga home schooling menjadi jawaban kebuntuan dan sudah mulai marak dunia pendidikan. Banyak pula lembaga pendidikan nonformal, seperti lembaga kursus, yang menjanjikan kelulusan bagi pesertanya saat mengikuti UN. Pertanyaan yang sekarang muncul, apakah orang tua mulai luntur kepercayaannya terhadap pendidikan di sekolah? Marilah kita tengok sejenak tentang arti dan tujuan pendidikan yang sebenarnya. Nagata, Yashiyuki dan Mannivannan dalam Prospect and Retrospect of Alternative Education in the Asia Pacific Region (2009)mengungkapkan, tujuan dan arah pendidikan adalah suatu proses transformasi manusia, yang diperoleh melalui perkembangan yang seimbang antara tubuh, pikiran, spirit, dan intelektual, baik personal maupun universal. Selanjutnya, pendidikan adalah proses menjadi diri sendiri dan menemukan makna kehidupan. Menemukan identitas diri terjadi dalam kesatuan antara diri sendiri dan manusia lain. Dengan pendidikan, orang disatukan pula dengan our being dan truth of our lives. Pengertian kebenaran ini merupakan tujuan dasar dalam pendidikan. Dengan pendidikan, inner self dikaitkan dengan outer world. Dari sini diketahui, pendidikan sangat berpengaruh terhadap sosialisasi kehidupan seorang anak. Home schooling berisiko membuat anak didik menjadi “orang asing” di lingkungan bangsanya. Teringat perkataan Ki Hadjar Dewantara, seseorang dididik bukan hanya supaya tumbuh sebagai seorang pribadi, melainkan juga sebagai bagian dari sebuah bangsa. Makna pendidikan seperti inilah yang bisa didapatkan dalam sekolah. Usaha sekolah dalam memajukan pendidikan anak bangsa seharusnya tidaklah dicederai praktik-praktik yang merugikan, seperti menjadikan sekolah sebagai pasar yang di dalamnya terdapat transaksi bisnis. Sekolah sibuk menerapkan “banderol” pendaftaran sekolah. Imbasnyam hanya kalangan elite yang mampu memasuki sekolah tersebut dan kalangan bawah tersingkir. Pencederaan pun terjadi dalam praktik perpindahan kurikulum dari tahun ke tahun, yang selalu ada perubahan. Melakukan perubahan memang baik, namun jika tidak jelas arahnya, perubahan tersebut akan mengakibatkan kerancuan dalam sistem. Indonesia sering mengubah kurikulum. Jika diamati, setiap pergantian menteri pendidikan, berganti pula kurikulum pendidikan. Ini berbeda dengan Malaysia. Setiap ada pergantian menteri pendidikan, menteri yang baru akan melanjutkan yang telah diprogramkan menteri sebelumnya sehingga sistem pendidikan berkesinambungan. Jika ada sistem yang kurang baik, bukan mengubah keseluruhan sistem, melainkan memperbaikinya. Ini bukan hendak mengatakan sekolah sudah tidak dapat dipercaya sebagai lembaga pendidikan yang baik. Namun, ini hanya mengingatkan masyarakat yang sudah banyak memahami keadaan pendidikan di negeri ini. Jadi, ketika sekolah tidak segera menyadari betapa pentingnya pembenahan-pembenahan dalam tubuhnya, kepercayaan masyarakat terhadap lembaga ini bisa hilang. Pengingat ini pun berlaku bagi semua stakeholders dunia pendidikan, baik jajaran kepemerintahan, pemimpin sekolah, maupun seluruh warga Indonesia. Sekolah bukan hanya lembaga pendidikan an sich, melainkan juga bisa menjadi bagian dari roh pendidikan bangsa ini. Sekolah pula menjadi bentuk institusi dari pendidikan yang membiasakan anak didik mengenal, mempelajari, menguasai, dan menerapkan nilai-nilai yang berguna baginya, keluarganya, kemanusiaan, bangsa, dan negara. ● |
Tidak ada komentar:
Posting Komentar