Keputusan Rasional Menaikkan BI Rate Sabaruddin Siagian ; Dosen Institut Perbanas Jakarta |
KORAN JAKARTA, 01 April 2014
Kebijakan menurunkan suku bunga acuan atau BI Rate sudah sirna kendati inflasi menurun dan nilai tukar rupiah menguat. Bahkan, Bank Indonesia (BI) kemungkinan besar masih bakal menaikkan BI Rate untuk menstabilisasi rupiah dan perekonomian. Alasan kuat BI tidak menurunkan BI Rate karena bank sentral AS (The Federal Reserve/The Fed) akan menaikkan suku bunga acuan atau Fed Fund Rate 1 persen tahun 2015 dari sekarang yang hanya 0,25 persen. Kemudian, tahun 2016, The Fed akan menaikkan lagi Fed Fund Rate menjadi 2,25 persen. Ditambah lagi, The Fed konsisten mengurangi (tapering off) kebijakan stimulus moneter, quantitative easing, sekarang 55 miliar dollar AS dari semula 85 miliar dollar AS. Kenaikan Fed Fund Rate dan adanya konsistensi pengurangan stimulus moneter The Fed membuat maka dana-dana global, khususnya dari negara emerging markets, menuju perekonomian AS. Hal itu yang membuat dollar AS menguat terhadap mata uang negara-negara lain, termasuk rupiah, baru-baru ini. Pada saat Joko Widodo dideklarasikan oleh Partai Demokrasi Perjuangan (PDIP) menjadi calon presiden, rupiah menguat ke level 11.200-an per dollar AS dari 11.400-an. Ketika Gubernur The Fed Janet Yellen mengeluarkan pernyataan rencana kenaikan suku bunga acuan rupiah melemah lagi ke 11.400-an. Melemahnya rupiah, kendati ada dorongan Joko Widodo, mencerminkan kuatnya efek Yellen dalam menentukan arah perekonomian nasional Indonesia, khususnya menyangkut rupiah dan kebijakan moneter yang akan BI ambil ke depan. Dengan penguatan rupiah 7 persen dari Januari sampai saat ini dan penurunan inflasi menuju target 3,5–5,5 persen, kalau tidak melihat secara hati-hati memang BI dapat ditekan supaya menurunkan BI Rate. Padahal, penguatan rupiah secara tiba-tiba bukan karena kekokohan fundamental ekonomi saja, tetapi lebih besar dipengaruhi oleh aliran dana jangka pendek atau hot money yang masuk ke Indonesia. Besarnya aliran dana jangka pendek itu karena adanya kekhawatiran investor global terhadap pertumbuhan ekononi AS akibat dampak bencana alam atau cuaca ekstrem di Negeri Paman Sam sehingga pemodal menambah portofolionya ke negara emerging markets, termasuk Indonesia. Besarnya dana global berjangka pendek yang masuk ke perekonomian Indonesia telah membuat rupiah menguat tiba-tiba dari Januari sampai kini mencapai 28 triliun rupiah. Kalau ada usulan berbagai analisis dari para ekonom perlunya BI menurunkan BI Rate untuk mencegah rupiah yang kuat terlalu besar, maka usulan penurunan BI Rate itu sangat keliru atau tidak tepat. Tahan Pertumbuhan Penguatan rupiah, saat ini, adalah karena guyuran hot money dari investor global. Bila bank sentral Indonesia menurunkan BI Rate tentu akan meningkatkan risiko krisis rupiah dan ekonomi, sedangkan tujuan bank sentral menaikkan BI Rate menjadi 7,5 persen bukan untuk meredam inflasi, tetapi dalam rangka menormalisasikan atau menurunkan pertumbuhan ekonomi karena kapasitas perekonomian Indonesia kurang mampu mendorong pertumbuhan yang tinggi. Kapasitas perekonomian tidak mampu mendorong pertumbuhan yang tinggi seperti mencapai target yang ditetapkan APBN 2014, dalam kisaran 5,8–6,2 persen, yang tecermin masih tingginya defisit transaksi berjalan (current account). Pada kuartal II-2013 mencapai 9,9 miliar dollar AS atau 4,4 persen dari pendapatan domestik bruto (PDB). Walaupun transaksi tahun berjalan 2013 menurun menjadi 3,2 persen dari PDB. Tetapi, Januari 2014, necara perdagangan mengalami defisit lagi 430 juta dollar AS. Hal ini mencerminkan bahwa supply dan demand dollar AS pada perekonomian Indonesia belum sehat. Dengan demikian, rupiah masih rentan terhadap tekanan eksternal dan internal perekonomian. Karenanya, BI sering mengeluarkan pernyataan bahwa kebijakan moneternya ketat dalam rangka menstabilisasi rupiah dan perekonomian. Dengan stabilisasi perekonomian, tentu memerlukan penurunan pertumbuhan ekonomi. Dengan kebijakan stabilisasi sedemikian, BI mengoreksi pertumbuhan ekonomi tahun 2014 menjadi 5,5–5,9 persen dari 5,8–6,2 persen. Koreksi pertumbuhan ekonomi tersebut diperkuat Bank Dunia yang memperkirakan pertumbuhan ekonomi Indonesia hanya 5,3 persen pada 2014. Dengan pertumbuhan ekonomi 5,5–5,9 persen, BI minta kepada perbankan meningkatkan pertumbuhan kreditnya hanya 15–17 persen. Tujuannya supaya mampu mengurangi pendanaan impor barang modal, bahan baku, bahan pembantu, dan barang konsumsi. Dengan demikian, juga otomatis mengurangi defisit transaksi tahun berjalan. Pencapaian pertumbuhan ekonomi 5,5–5,9 persen dan pertumbuhan kredit perbankan hanya 15–17 persen, maka target mengurangi defisit transaksi tahun berjalan di bawah 3 persen dari PDB dapat dicapai. Idealnya, target defisit mencapai 2,5 persen dari PDB. Dengan mencapai target, maka rupiah dan perekonomian stabil. Jika transaksi tahun masih di atas 3 persern dari PDB pada periode kuartal I-2014, mau tidak mau, BI harus menaikkan BI Rate lagi pada Rapat Dewan Gubernur pada April ini. Selain untuk memastikan target pencapaian transaksi tahun berjalan di bawah 3 persen, kebijakan menaikkan BI Rate lagi untuk mengantisipasi pelarian modal atau hot money secara masif karena tingkat suku bunga perbankan nasional tidak kompetitif lagi karena negara-negara lain, khususnya emerging markets, sudah lebih bulu menaikkan suku bunganya cukup besar untuk mengantisipasi kenaikan suku bunga acuan AS. Dengan menaikkan BI Rate pada Rapat Dewan Gubernur nanti, aset-aset rupiah menjadi menarik sehingga mencegah pelarian modal secara masif dan otomatis mengurangi risiko krisis rupiah dan ekonomi. Alhasil, kebijakan moneter BI kelak kemungkinan besar menaikkan BI Rate lagi dan mustahil menurunkannya. Kebijakan moneter ketat tahun 2014 adalah rasional dan strategik untuk melindungi atau memitigasi perekonomian nasional dari gelombang tekanan eksternal. ● |
Tidak ada komentar:
Posting Komentar