“Devide et Impera” dalam Pendidikan Sidharta Susila ; Pendidik, Tinggal di Muntilan, Magelang |
KOMPAS, 01 April 2014
PASTILAH tak tebersit niat, apalagi upaya, negara menciptakan pertengkaran dan bahkan perpecahan dalam pengelolaan pendidikan kita. Namun, kalau ternyata itu terjadi di antara pelaku pendidikan karena kebijakan penguasa, negara tak bisa tinggal diam. Kuasa uang kian memobilisasi pendidikan kita. Sejenak guru mencecap manisnya ragam tunjangan. Namun, berubah-ubahnya aturan penerimaan serta keterlambatan/tidak lancarnya penerimaan tunjangan-sertifikasi memantik kesadaran dan daya kritis kita. Benarkah negara tulus memperjuangkan nasib guru? Sungguhkah negara ini telah punya cukup dana untuk terus menggelontorkan uang bagi pengelolaan pendidikan? Ada yang pilu pada janji sertifikasi guru. Kurikulum baru yang akan segera diberlakukan berdampak terhadap jumlah minimal jam mengajar yang dituntut untuk memperoleh tunjangan sertifikasi. Ada banyak guru pada tahun ajaran baru nanti tak lagi memperoleh jumlah minimal jam mengajar tersebut. Mereka harus menyudahi manisnya tunjangan sertifikasi. Ketegangan pun terjadi. Banyak sekolah, khususnya sekolah swasta miskin, berusaha mengelola ketegangan di antara para guru yang berpotensi tidak bisa lagi menerima tunjangan sertifikasi. Mereka meminta guru mengalah dengan memberikan jam mengajarnya kepada guru lain. Itu tak mudah. Bukankah manisnya pendapatan sertifikasi telah mengubah pola konsumsi? Pasti tak mudah juga bagi anak-suami-istri para guru menerima kenyataan akibat tak lagi bisa menerima tunjangan sertifikasi. Bagi sekolah negeri yang ditopang uang negara (baca: uang rakyat lewat pajak), juga sekolah swasta kaya, agaknya tak masalah. Dana investasi mereka berlimpah, nyaris tak berbatas. Mereka bisa menyikapi dengan menambah rombongan belajar dengan konsekuensi memperkecil jumlah murid setiap kelas. Juga dengan membuat kelas baru untuk menerima murid sebanyak mungkin. Jejak ”devide et impera” Tidakkah cara ini sebuah pemborosan berbiaya mahal? Tidakkah ini ketidakadilan yang ironis, mengingat banyak sekolah yang sekarat? Bukan hanya pemborosan berbiaya mahal, benih ketegangan dan perpecahan antarsekolah pun mulai tercium aromanya. Demi menyelamatkan peluang memperoleh tunjangan sertifikasi, pengelolaan sekolah- sekolah ”kuat” kian egois. Tak peduli dengan nasib sekolah-sekolah sekitar. Itu artinya juga sekolah ”kuat” tak lagi peduli dengan nasib guru di sekolah lain yang ”ringkih-miskin”. Dinamika devide et impera segera terjadi dalam dinamika pendidikan kita. Hari-hari ini ketegangan dan perpecahan antarguru sudah mulai menyeruak di sekolah-sekolah kita. Para guru tak selalu mudah lagi untuk berbagi. Uang telah demikian merasuki kehidupan guru kita. Dengan masif, uang telah melemahkan militansi dan karakter guru sebagai pendidik, seorang abdi yang murah hati berbagi hidup. Tuah devide et impera juga terjadi antarsekolah. Pengelolaan sekolah kian egois. Sekolah-sekolah ”ringkih-miskin” yang acap kali dikelola pendidik militan pun kian sekarat. Para gurulah yang akan segera menjadi korban. Akan tetapi, sesungguhnya kita juga sedang mengorbankan dan mempertaruhkan nasib bangsa ini. Tidakkah menambah rombongan belajar dan lokal untuk meraup sebanyak mungkin murid tak diintensikan demi kualitas pembelajaran? Tidakkah semua itu demi menyelamatkan tunjangan sertifikasi? Tidakkah itu berarti murid hanyalah obyek penyelamat nasib guru? Tidakkah ini merupakan tragedi pendidikan? Dulu kita suka mencaci nasib guru yang sedikit lebih baik daripada melarat. Namun kini, di akhir pemerintahan ini, alih-alih memperbaiki nasib dan martabat guru, kita sedang membentuk guru egois dan materialistis. Dua sifat itu ampuh melibas karakter abdi para guru, sosok pendidik-peziarah yang memuja martabat kehidupan. Mungkinkah kita sedang merobohkan militansi pendidikan dan melahirkan guru yang membudak uang? ● |
Tidak ada komentar:
Posting Komentar