Dalam drama Rendra, ”Panembahan Reso”, ada ketegangan antargenerasi. Raja tua, yang sudah 85 tahun usianya, masih senang menikmati kekuasaan. Tanpa menyadari— atau pura-pura tidak menyadari— bahwa para pangeran, yang banyak jumlahnya, sudah mulai kasak-kusuk tentang tahta.
Masing-masing menimbang bahwa dirinya yang paling pantas mengganti kedudukan Baginda. Dan kemudian, diamdiam, mulai muncul persaingan, yang makin lama makin terbuka. Intrik, fitnah, dan usaha saling menjegal, tampak di permukaan. Baginda Raja tua, akhirnya menyindir mereka, bahwa mereka belum akan becus memerintah. Mereka dianggap masih mentah. Ibarat permainan silat, para pangeran, generasi muda, dianggap kebanyakan gerak tanpa arti.
Orang tua, yang sudah matang, dengan satu gerak lembut, tanpa membuang-buang tenaga, dengan mudah bisa melumpuhkan musuh. Kita tahu, ini gambaran bahwa di dalam kekuasaan yang mengasyikkan, dan penuh pesona, generasi tua tak mau berbagi dengan generasi tua. Ibarat orang mengemut gula—biasanya gula merah—makin lama terasa manis, dan orang tak mungkin mau begitu saja melepaskannya. Di dalam drama itu diperlukan suatu pertumpahan darah untuk menyingkirkan Raja tua.
Dan para pangeran habis di dalam pertempuran membasmi pemberontakan. Sementara para pemberontak sendiri juga kehabisan tenaga. Panembahan Reso bersekongkol dengan Ratu Dhara, untuk menempatkan seorang Pangeran bodoh, lemah dan kaget-kagetan, ke atas tahta. Dia bernama Pangeran Rebo, putra Ratu Dhara sendiri. Dan Pangeran Rebo pun menjadi raja boneka, yang disetir Panembahan Reso dan Ratu Dhara tadi. Tanpa berkeringat, Panembahan Reso naik tahta yang berdarah, dan penuh ketidaknyamanan. Dia menang. Tapi dalam hidup, menang dan kalah itu begitu tipis batas-batasnya.
Dalam politik, kita pun begitu. Kita bisa bertanya: apakah dalam sepuluh tahun yang kosong akhir-akhir ini Bapak Presiden kita menang? Menjadi presiden, dan berkuasa secara resmi, tapi para pendukung kemudian kecewa, marah-marah, dan mencerca: ini tanda orang menang apa kalah?
Esai ini tidak berniat membahas perkara itu lebih lanjut. Kita memilih prioritas lain: langkah orang-orang tua, sisa-sisa Orde Baru, yang tampak masih gigih itu. Saya kagum akan optimisme mereka, dan sikap pantang menyerah, apapun yang mereka hadapi.
Ini satria sejati? Ini pemimpin yang bakal membebaskan bangsa dari sikap lembek, cengeng dan tahu ke mana kaki harus melangkah? Ini pemimpin yang kita dambakan, dengan penuh rindu, siang dan malam, hingga kita rela tak bisa tidur karena menanti pemimpin sejati ini? Orang-orang tua, sisa-sisa Orde Baru, yang dibubarkan oleh kekuatan rakyat dalam gerakan perlawanan yang disebut ”reformasi” itu, kini merasa ”angin buruk” kemarahan rakyat sudah reda. Jadi, sudah masanya mereka tampil kembali untuk mencalonkan diri menjadi ”ini” atau ”itu”, dan siap bertarung, mempertaruhkan kualitas kemanusiaan dan kepemimpinan masingmasing.
Momentum politik telah membukakan pintu bagi mereka, dengan senyum semanis iklan-iklan terbaik yang bisa dibuat biro iklan kelas dunia. Jadi apa salahnya momentum tak digunakan. Momentum sejati, tak mau datang lagi untuk kedua kalinya. Jadi, sekarang inilah yang tua-tua, ikut lagi berderet bersama yang mudamuda, saling mendesak, saling memojokkan. Kalau perlu, saling meniadakan. Kita boleh bertanya pada para pemimpin kita itu. Namanya juga pemimpin. Mereka pasti siap dengan jawaban manis, taktis dan melegakan.
Apa yang penting kita tanyakan? Mungkin ini: ”Bagaimana mereka bisa menempa diri dan membangun sikap optimistis, tanpa tandingan, dan sikap pantang menyerah dalam pertarungan demi pertarungan yang kejam, sengit dan mematikan? Hanya para ksatria sejati yang bisa begini, dan berani begini. Ini mungkin sulit dijawab, kecuali oleh mereka yang pergulatan hidupnya penuh tantangan, dan menyadari bahwa perjuangan hidup memang tidak mudah. Apa yang kedua? Mungkin ini: ”Bagaimana menghadapi suasana psikologis yang getir dalam kekalahankekalahan di masa lalu, tapi masih tetap memiliki jiwa membara untuk bertarung?” Ini lebih mendalam, dan lebih sulit. Ada lagi? Ya. Ada.
”Apakah optimisme yang luar biasa menggelegak itu tidak sebaiknya disertai kemampuan mawas diri, berkaca, melihat ke ”dalam”, untuk menyadari bahwa suasana psikologi politik tak bisa lagi dikendalikan dengan cara lama, yaitu memamerkan popularitas, dan menjual ide pembebasan, yang tak nyambung di hati rakyat? Apakah akan dianggap tidak produktif untuk menyadari bahwa pola Orde Baru, kesan dan citranya yang dulu begitu ganas itu masih membuat jiwa kita merasa trauma, takut, enggan, dan tak berselera memilih? Wah, ini lebih dalam lagi. Sebaiknya jangan bertanya lagi.
Satu pertanyaan saja, penutup: ”Bagaimana memahami sinyal-sinyal lembut di wajah rakyat yang traumatik, yang tak mau menaruh kasih sayang, dan ”trust” pada kita? Apakahsekadar kampanye yang menggebrakgebrak sekeras geledek di musim hujan, bisa memecahkan urusan kasih sayang dan ”trust” tadi? Kampanye itu urusan merebut hati rakyat. Tapi bagaimana kalau rakyat yang hendak direbut hatinya malah takut? Dan kalau dikasih duit mereka terima duitnya tapi mereka memilih calon lain? Bagaimana cara menyiasati mereka? Kampanye bukan instruksi atasan.
Dan di zaman ini apa yang namanya instruksi sudah tak berlaku. Birokrasi pemerintahan, yang dulu mengabdi Golkar, dengan semboyan ”monoloyalitas”: sekarang lain. ”mono” ya ”mono”, ning ojo ”mono” lagi.
Rakyat sudah pandai. Kesadaran politik mereka sudah tinggi. Mereka yang apatis, dan enggan memilih pun tanda bahwa mereka punya kesadaran politik tak bisa sama sekali diganggu gugat. Juga tidak oleh duit. Tak semua rakyat memiliki kesadaran politik sebagus itu, bukan? Betul. Tak semua sebagus itu sikapnya. Tapi jangan salah, mereka yang takut pada masa lalu yang ganas tadi, tetap punya kalkulasi.
Takut membuat mereka tak memilih pihak-pihak yang dulu menakutkan. Yang membuat mereka trauma pada yang ganas bukan hanya masa lalu. Bagaimana ini bisa dijelaskan. Betul. Masa kini banyak juga yang membuat trauma. Partai-partai yang bicara ”subhanallah”, ”alhamdulillah” ”la ilaha illah” ”Allahu Akbar” juga menggoreskan kenangan pedih. Dan ini juga trauma. Partai yang bicara demokrasi dan antikorupsi, ininya bukan demokrasi dan begitu bergelimang korupsi, yang menanti penyelesaian. Dengan marah, rakyat menanti, sambil tetap menyimpan trauma dan kecewa.
Dan mereka, yang jiwanya terkoyak-koyak seperti itu, disuruh memilih? Kampanye bukan jawaban. Dan kampanye yang percaya duit kotor bisa membeli hati rakyat, sekarang akan menangis. Politik tak bisa lagi dipahami hanya dengan akal dan rasionalitas teoriteori mapan. Teori hanya sekepingkecilungkapan, yangmenjelaskan fenomena yang luas tak terbatas. Kita perlu, sesekali, berpolitik dengan bahasa hati yang tak punya rumus, dan memang tak harus punya. ● |