Purnawirawan dan Pilpres Indria Samego ; Profesor Riset Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI) |
REPUBLIKA, 16 Juli 2014
Menjelang pilpres yang lalu, muncul banyak pertanyaan mengapa para mantan perwira TNI tertarik untuk berpolitik? Mengapa ketertarikan itu terbelah ke dalam kubu Prabowo-Hatta dan Jokowi-JK? Adakah pengaruhnya terhadap tingkat elektabilitas kedua pasangan kandidat presiden dan wakil presiden? Yang lebih menarik lagi adalah hilangnya basa-basi atau persisnya etika yang biasanya melekat pada perilaku seorang mantan prajurit. Bagi para mantan perwira tinggi, saling bantah dan silang tuduh dalam komunitas mereka tentu saja men jadi sesuatu yang tak lazim. Mengingat latar belakang pendidikan yang hampir seragam, yakni Akabri, dan sekian puluh tahun mengabdikan diri dalam institusi yang meniscaakan keseragaman dan jenjang komando, rasanya memang agak aneh bila karena perbedaan afiliasi tokoh dan opini kemudian dilontarkan dalam ruang publik secara apa adanya. Sungguh, ini merupakan pengalaman baru dalam perkembangan perilaku politik para mantan jenderal. Perang wacana politik di antara para mantan jenderal tersebut tentu saja menjadi kian khas, karena dilakukan hanya oleh mantan perwira tinggi Angkatan Darat. Meski sama-sama bagian dari warga ABRI di masa lalu, dan sekarang diikat dalam wadah TNI, para mantan Laksamana (Angkatan Laut) dan Marsekal (Angkatan Udara), tetap setia pada nilai-nilai dasar yang selama ini mereka junjung tinggi. Demikian juga dengan para mantan perwira tinggi kepolisian, meski tak sedikit yang bergabung ke dalam barisan pendukung kedua pasangan capres dan cawapres, kita juga tak melihat adanya perang wacana di antara mereka. Pertanyaannya kemudian, mengapa terjadi perkembangan yang demikian memprihatinkan? Akankah memengaruhi para juniornya yang sekarang sedang memegang jabatan pimpinan TNI? Apa jadinya bila kecenderungan ini berkembang sampai era kampanye dan proses penentuan hasil pemilu presidennya? Beruntung sekali bahwa pimpinan TNI sudah meresponsnya secara terbuka. Mulai dari Panglima TNI Jenderal Moeldoko, Jenderal Budiman yang kepala Staf Angkatan Darat, sampai beberapa Panglima Daerah Operasi Militer dan Danrem serta Dandim, telah memberikan garansinya, bahwa setiap prajurit TNI harus netral dalam kontes politik ini. Siapa pun yang melanggarnya akan dikenai sanksi yang cukup berat. Begitulah, kira-kira jaminan politik yang kita dapatkan dari pimpinan TNI dalam menghadapi perkembangan politik mutakhir yang bersumber dari keluarga besar TNI. Akar persoalan dan konsekuensinya Jika tentara (baca: prajurit TNI aktif) jelas tak boleh berpolitik. Sejak reformasi TNI, selain menanggalkan istilah Angkatan Bersenjata Republik Indonesia (ABRI) dan mengembalikan kejatidirinya sebagai Tentara Nasional Indonesia (TNI), TNI juga bertekad untuk meninggalkan gelanggang politik praktis. Sesuai dengan pesan Jenderal Soedirman, bapak pendirinya, politik tentara adalah politik negara. Dengan kata lain, setiap prajurit TNI harus meletakkan loyalitasnya kepada negara, bukan kepada penguasa. Kemudian, perkembangan berikutnya, dirumuskanlah aturan perundangan No 34 Tahun 2004 mengenai Prajurit TNI, yang menyatakan secara eksplisit bahwa prajurit TNI tidak boleh terlibat dalam politik praktis. Sementara mereka yang disebut mantan (tentara yang tidak lagi berdinas aktif) memiliki hak yang sama dengan warga negara Indonesia lainnya. Sebagai warga bangsa, para pensiunan berhak ikut berpolitik. Artinya, mereka mempunyai hak untuk ikut memilih dan dipilih dalam setiap pemilihan umum, baik pemilu kepala daerah, pemilihan calon ang gota legislatif, maupun pemilihan presiden. Bahkan, tak ada larangan pula bagi para mantan anggota TNI tersebut untuk membentuk dan mengembangkan partai politik. Tampaknya, kedua pemahaman tersebut di atas cukup jelas memisahkan aturan antara kedua entitas yang selama Orde Baru menjadi stabilisator politik. Siapa yang boleh dan tak boleh berpolitik, tidak sulit untuk membedakannya secara hukum. Sebagai tentara aktif, mereka terikat pada code of conducts yang belum berubah sejak dahulu sampai sekarang, yakni Sapta Marga dan Sumpah Prajurit. Sebagai konsekuensinya, selain ketaatan kepada peraturan, ada atasan atau komandan yang berhak untuk mengendalikannya. Sanksi akan dengan mudah diberikan kepada siapa pun yang melanggarnya. Namun, sebagai mantan prajurit, secara hukum, mereka tak lagi terikat pada norma di atas. Masalahnya menjadi tidak jelas bila diletakkan pada perspektif praksis, terutama realita politik. Karena politik menyangkut pengaruh, maka tidak mudah untuk menemukan buktinya secara hukum. Jika sumber daya politik itu bersifat material, tentu mudah untuk menemukannya. Namun, bila yang digunakan dalam berpolitik itu bersifat immaterial, maka sulit buat membuktikannya. Siapa yang dapat menunjukkan bukti konkret bahwa perilaku komandan atau atasan memengaruhi bawahannya? Akan halnya polarisasi sejumlah mantan perwira tinggi yang ramai mewarnai pemberitaan menjelang pilpres yang lalu, tampaknya disebabkan oleh se jumlah faktor berikut. Pertama, mereka semua memang sudah berusia di atas 60-an, bahkan ada yang telah melewati kepala tujuh. Artinya, mereka sudah lama meninggalkan usia pensiunnya. Kendati sekarang dinaikkan dari 55 tahun menjadi 58 tahun, semua yang terlibat dalam silang pendapat tempo hari adalah mantan perwira tinggi yang telah lama meninggalkan komunitas militernya. Bukan, hanya karena "old soldier never dies", namun lingkungan pergaulan dan pekerjaan mereka setelah berhenti dari dinas kemiliteran memang sangat berbeda. Ada yang terjun ke dunia bisnis, namun tak sedikit pula yang berpindah karier menjadi politisi. Ketika memasuki tahap pertarungan politik yang sesungguhnya, yakni keharusan memilih si A atau si B, mau tak mau, tak mudah bagi mereka untuk disatukan. Kedua, usia pensiun bagi mantan tentara dan juga birokrat sipil di negeri kita memang masih belum didukung oleh penghargaan yang wajar dari negara. Sejauh ini, ada kesulitan hidup yang jelas-jelas dihadapi oleh para pensiunan, terutama yang tak mempersiapkannya jauh-jauh. Selain uang pensiun tak sebanding dengan kebutuhan, penghargaan pun selesai bagi siapa pun yang sudah meninggalkan jabatannya. Konsekuensinya, setiap orang harus menyiasati hari-hari tuanya secara optimal. Bagi mereka yang memiliki jaringan pengusaha, mungkin dapat menitipkan dirinya di sana. Tapi, buat yang tidak tertarik pada dunia usaha, biasanya berkiprah dalam politik. Apalagi karena politik kemajemukan menjadi warna era reformasi, maka pilihan tersedia lebar. Ketiga, era menuju pilpres 2014, pilihan politik itu menyempit menjadi dua, yakni antara pasangan Prabowo-Hatta dan Jokowi-JK. Nalar sehat saja akan sependapat bahwa situasi pertarungan head to head ini, mau tidak mau melahirkan norma the winner takes all atau siapa yang mendapatkan angka lebih dialah yang menang (the first passes the post). Sebagai konsekuensinya, semua kekuatan pendukung harus berusaha sekuat mungkin untuk memenangkan tokoh yang didukungnya. Itulah salah satu faktor yang mendorong ingar-bingarnya perdebatan seputar "sejarah" karier Prabowo di masa lalu. Suka atau tidak, ada dorongan kuat untuk mendelegitimasinya sebagai calon presiden di satu pihak, dan mendukungnya di pihak lain. Tentu saja, pertarungan mengenai hal itu, hanya diketahui oleh mereka yang sama-sama berkiprah seperti Prabowo Subianto, yakni perwira TNI, baik bawahannya maupun atasannya. Beruntunglah, situasi "perang bintang" itu sudah lewat, dan kini digantikan oleh perang perolehan suara dalam Pilpres 9 Juli 2014 yang lalu. Sayangnya, proses menuju pengumuman KPU sebagai pemegang mandat penghitung riil tidak berjalan mulus. Ketidakpercayaan muncul dari kedua kubu. Lebih tragisnya lagi, lembaga survei yang biasanya dipercaya menjadi rujukan, kini terbelah dua. Ada yang mengatakan pasangan Jokowi-JK yang menang dan sebaliknya justru Prabowo-Hatta yang unggul. Secara legal, kita harus menyerahkan dan percaya kepada Bawaslu, DKPP, dan KPU untuk terus bekerja keras dan menentukan siapa yang akan menggantikan Presiden SBY-Boediono. Namun, secara politis, prosesnya tak semudah itu. Semoga, proses yang demokratislah yang terjadi, bukan di luar itu. ● |
Tidak ada komentar:
Posting Komentar