Dampak Pencabutan Subsidi Listrik Carunia Mulya Firdausy ; Profesor Riset LIPI, Guru Besar Ilmu Ekonomi Universitas Tarumanagara |
KOMPAS, 15 Juli 2014
RENCANA pemerintah mencabut subsidi listrik untuk enam golongan pelanggan sudah diteriakkan Menteri Keuangan sejak sebulan lalu sebagai salah satu langkah menekan subsidi energi tahun 2014 yang anggarannya menggelembung Rp 110 triliun dari pagu awal menjadi Rp 392 triliun. Pencabutan subsidi dapat menghemat pengeluaran Rp 8,51 triliun, apalagi dampak kenaikan inflasinya hanya 0,1-0,2 persen (Kompas, 7/6/2014). Namun, benarkah pencabutan subsidi listrik hanya berdampak pada inflasi? Bagaimana dampaknya terhadap upaya menunjang kelancaran mekanisme sistem pemerintahan, peningkatan produktivitas, ataupun pembiayaan program-program pembangunan? Bagaimana dampaknya terhadap sektor penerimaan pemerintah? Bagaimana dampaknya terhadap konsumsi masyarakat, investasi, dan ekspor? Mengapa semua dampak ini tidak diungkapkan? Pencabutan subsidi listrik berpotensi berdampak negatif karena tidak hanya mereduksi upaya menunjang kelancaran mekanisme sistem pemerintahan, tetapi juga melemahkan upaya peningkatan produktivitas dan pembiayaan program-program pembangunan. Apalagi, pencabutan subsidi listrik juga berlaku untuk golongan pelanggan dalam sektor pemerintah, yakni golongan pelanggan ketiga (P-2) dan golongan pelanggan kelima (P-3). Untuk golongan pelanggan pemerintah (P-2), pencabutan subsidi listrik berarti institusi pemerintah dalam golongan ini harus mengeluarkan dana ekstra Rp 100 miliar. Dana yang hilang tersebut tentu berdampak negatif pada kinerja pelayanan, produktivitas, dan pembiayaan program pembangunan. Apalagi, jika dana tersebut sepenuhnya diambil dari total dana di setiap institusi pemerintah. Dampak negatif Dampak negatif yang sama juga akan terjadi dengan dicabutnya subsidi listrik untuk golongan pelanggan kelima menyangkut penerangan jalan (P-3). Sektor pemerintah yang terkait pembiayaan ini akan kehilangan dana Rp 430 miliar. Singkatnya, pencabutan subsidi listrik di kedua golongan pelanggan sektor pemerintah tersebut berdampak negatif pada kelancaran mekanisme sistem pemerintahan, produktivitas, dan pembiayaan program-program pembangunan yang setara dengan jumlah subsidi yang dicabut, Rp 530 miliar. Untuk sektor penerimaan pemerintah, pencabutan subsidi listrik dipastikan juga berdampak mengurangi penerimaan pemerintah, baik dari sumber dalam negeri maupun sumber pembangunan. Pengurangan penerimaan ini terjadi akibat turunnya penerimaan dari pihak industri (migas dan nonmigas) dengan dicabutnya subsidi golongan pelanggan I-3. Geliat industri untuk mendiversifikasi dan diferensiasi produk jadi terkendala karena anggarannya dialihkan untuk membayar listrik. Bahkan, rencana pengembangan industri yang telah diprogramkan bisa ”buyar”. Penerimaan pemerintah juga diyakini menurun akibat dicabutnya subsidi listrik terhadap tiga golongan pelanggan rumah tangga, rumah tangga R-2 (3.500-5.500 volt ampere), rumah tangga R-1 (2.200 volt ampere), dan rumah tangga R-1 (1.300 volt ampere). Pencabutan subsidi listrik terhadap ketiga golongan rumah tangga membuat pendapatan yang dapat dibelanjakan oleh rumah tangga (household disposable income) per bulan menurun. Meningkatnya biaya listrik membuat konsumsi barang dan jasa dan tabungan rumah tangga dalam ketiga golongan ini terpuruk. Suka atau tidak suka, sumber penerimaan pemerintah dari sektor konsumsi dan tabungan rumah tangga kelompok ini menjadi berkurang. Selanjutnya, pencabutan subsidi listrik dapat memengaruhi hasrat investor berinvestasi. Biaya produksi yang harus ditanggung investor semakin meningkat. Akibatnya, upaya pemerintah memperluas dan meningkatkan penyerapan tenaga kerja akan semakin terhambat (Mudradjat, Kompas 6/6/2014). Demikian pula dengan dampak negatif terhadap penerimaan ekspor. Dalam hal ini, penerimaan ekspor akan berkurang karena pencabutan subsidi listrik menurunkan daya saing produk ekspor. Ini terjadi sebagai akibat meningkatnya harga jual produk eksporvis a vis harga produk impor sejenis pasca pencabutan subsidi. Jangan heran jika defisit transaksi perdagangan dalam tahun ini tidak dapat diatasi. Potensi dampak Dari uraian singkat di atas, sangat naif jika kebijakan fiskal melalui rencana pencabutan subsidi listrik hanya diukur semata-mata dari dampak inflasi yang ditimbulkan. Potensi dampak buruk terhadap hal-hal yang didiskusikan di atas nyaris dinihilkan oleh pemerintah. Apa alternatif pengganti pencabutan subsidi listrik? Peninjauan ulang terhadap sumber penerimaan dan pengeluaran pemerintah di luar pencabutan subsidi listrik merupakan alternatif kebijakan fiskal yang harus dipikirkan secara matang. Dalam sektor penerimaan, intensifikasi dan ekstensifikasi pajak pada industri migas dan nonmigas merupakan salah satu cara yang harus dilakukan. Apalagi, sampai saat ini lebih dari 80 persen potensi pajak di sektor ini belum tersentuh. Pemerintah harus mengkaji ulang dan menajamkan kembali berbagai jenis pengeluaran rutin dan pembangunan yang tidak produktif, seperti belanja barang dan jasa kebutuhan kementerian dan non-kementerian, termasuk pembelian kendaraan bermotor dan barang bukan modal sejenis lainnya. Di luar penajaman alokasi pengeluaran dan optimalisasi sumber penerimaan, berbagai bentuk kebijakan yang menghambat konsumsi, investasi, dan ekspor perlu segera dibenahi, termasuk penyediaan infrastruktur, peraturan daerah, dan kepastian hukum. Pemerintah yang cerdas tidak sebatas menghapus subsidi listrik, apalagi sekadar menghitung dampak inflasi. Semoga. ● |
Tidak ada komentar:
Posting Komentar